Penyesalan dan Mohon Ampunan

Penyesalan dan Mohon Ampunan - Kajian Medina
Penyesalan dan Mohon Ampunan

by. Ahmad Sarwat, Lc.MA

Salah satu penyebab rusaknya agama adalah sikap kurang etis yang terbenam dalam alam bawah sadar kita, yang sukanya ngotot memenangkan pendapat dan fatwa versi kelompok kita sendiri. Sambil hobi menyalahkan semua orang.

Sikap macam ini boleh jadi karena selama ini kita sudah jadi korban dari proses indoktrinasi akut yang kebacut dan kasep.

Biasanya orang awam agama macam kita-kita ini memang terpengaruh dan mudah terkena syndrome macam ini. Sejak kecil kita memang tidak pernah dikenalkan dengan adanya fiqih perbedaan, fiqih ikhtilaf atau pun juga muqanarah (perbandingan) mazahib.

Pengajian dan majelis taklim kita tanpa terasa sudah terlanjur mengajarkan bahwa kebenaran agama harus cuma satu saja. Tiidak boleh ada kebenaran yang berbilang. Tidak boleh ada keragaman, keragaman adalah kafir, keragaman adalah liberal, keragaman adalah kefasikan dan kemunafikan.

Pokoknya segala sesuatu harus hanya ada satu saja, semua harus kompak dan eksak. Dua itu harus sama hasil penjumlahan 1 dengan 1. Dua itu tidak boleh merupakan hasil pengurangan, 3 dikurang 1 atau 4 dikurang 2. Pokoknya tidak boleh. Begitulah doktrin agama yang mencetak fikrah dan manhaj kita selama ini.

Barangkali kalau untuk konsumsi anak-anak, memang tepat bila kita pilihkan satu saja, biar mereka tidak bingung. Mengajarkan doa iftitah itu cukup 1 versi saja, tidak perlu 2 versi. Toh, mereka itu anak kecil yang hanya butuh mengerjakan saja.

Tapi seiring dengan kedewasaan, maka sebenarnya kita ini perlu juga diperkenalkan adanya perbedaan-perbedaan itu. Qiraat Quran yang kita pelajari ternyata ada banyak versinya. Mau tidak mau kita memang harus berbeda dan tidak selalu sama.

Begitu juga cabang-cabang ilmu aqidah juga ada banyak sekali versinya. Mau tidak mau kita terpaksa juga harus berbeda, tidak mungkin sama persis.

Apalagi kalau sudah masuk wilayah fiqhiyah, dalam satu mazhab Syafi'i sekalipun masih ada banyak aqwal, pandangan serta wajah yang berbeda-beda. Apa boleh buat, perbedaan pendapat di kalangan ulama itu memang ada sejak zaman sahahabat yang mulia.

Yang paling disayangkan kalau kita sudah beranjak dewasa, tapi cara kita memahami agama ini masih versi anak-anak, yaitu format kebenaran hanya satu. Cabang dan detail aqidah hanya satu, fiqih dan syariah juga hanya satu.

Yang corak keagamaannya kok lain dan tidak sama dengan yang diajakrkan oleh tokoh kita, maka sudah dipastikan harus keliru, kudu salah, wajib sesat, bahkan jadi kewajiban untuk kita diperangi dengan kekerasan, makian, cacian, serta diposisikan sebagai musuh umat dan musuh Allah SWT.

Kadang tanpa sadar, kita memeranginya sambil teriak takbir menggema, seakan saudara muslim kita hanyalah gerombolan iblis sejati laknatullah penghuni neraka jahannam yang harus kita rajam bersama.

Padalah, seringkali urusannya cuma masalah sepele, cuma beda seuprit, cuma tidak sama secuil. Cuma beda pandangan politik yang hanya main-main, tidak ada teman atau musuh abadi.

Tapi makian demi makian yang kita lontarkan kepada saudara muslim kita sendiri seringkali jauh lebih dahsyat dari pada kalau kita menghadapi Fir'aun, Namrudz, Jalut, dan Abu Jahal sekaligus.

Hanya kepada-Mu saja kami bertaubat. Dan hanya kepada-Mu kami minta ampunan atas semua kesalahan kami. Jangan Engkau siksa karena keawaman kami. Jangan Kau jatuhkan murka-Mu pada kami yang awam dan belum paham makna perbedaan, kesantunan dan keshalihan.

Ya, Allah . . . terima lah penyesalan dan taubat kami.

Ahmad Sarwat
29 Juli pukul 20.35 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.