by. Ahmad Sarwat,Lc.,MA
Sering muncul fatwa membingungkan, bahwa membedakan harga jual karena adanya penangguhan pembayaran sama dengan riba.
Alasanya karena itu dianggap termasuk pembungaan hutang. Seolah naiknya harga karena penangguhan pembayaran hutang, sehingga bunganya menjadi berlipat-lipat.
Jadi rupanya pihak yang mengharamkan jual-beli kredit ini mencoba melakukan qiyas antara membelian sistem penangguhan pembayaran dengan peminjaman uang dengan bunga.
Dianggapnya dua-duanya riba, padahal sebenarnya tidak terjadi riba. Sebab tidak terjadi hutang pinjaman uang. Dalam hal ini menangguhkan pembayaran tidak bisa disamakan begitu saja dengan peminjaman uang.
* * *
A. Harga Boleh Berbeda
Sebenarnya, pada prinsipnya seorang penjual berhak menetapkan harga jual dari barangnya berapa pun nilainya, asalkan bukan merupakan bentuk monopoli dan juga disetujui oleh pembeli.
Dan penjual juga berhak untuk menjual sebuah produk yang sama dengan harga berbeda dengan berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain :
1. Pembelinya Berbeda
Boleh mejual barang yang sama dengan harga yang berbeda bila pembelinya yang berbeda. Misalnya, sebungkus nasi rames pakai lauk tempe dan krupuk dijual kepada mahasiswa dengan harga lima ribu rupiah.
Tetapi kepada pegawai kantoran dijual dengan harga enam ribu rupiah. Begitu juga harga tiket bus kota, biasanya berbeda antara harga pelajar dengan harga untuk umum.
Harga pendaftaran seminar untuk mahasiswa juga berbeda untuk umum. Harga tiket pesawat untuk anak-anak lebih murah dari pada harga untuk orang dewasa, padahal anak-anak itu tetap mendapat satu kursi seperti layaknya orang dewasa.
2. Tempatnya Berbeda
Penjual juga berhak menjual produk yang sama dengan harga yang berbeda di tempat yang berbeda. Misalnya, nasi rames tadi dijual lima ribu rupiah, karena tempatnya di warung tenda.
Tetapi begitu masuk ke Mal, harganya jadi sepuluh ribu rupiah.
Harga semangkuk bakso di warung pojok hanya 8 ribu perak dengan rasa yang enak.
Sementara harga semangkuk bakso di dalam tempat wisata elite bisa naik jadi 20 ribu dengan rasa yang biasa-biasa saja.
3. Jumlah Barangnya Berbeda
Di pasar Tenabang Jakarta, sudah menjadi kebiasaan kalau kita beli pakaian hanya satu stel akan berbeda harganya dengan bila barang itu selusin atau sekodi.
Harga tiket pesawat ke luar negeri untuk sekali jalan (one way) biasanya akan jatuh lebih mahal dari pada kita beli untuk pulang pergi (return).
4. Waktu Pembayarannya Berbeda
Maka tidak salah juga bila harganya berubah lebih mahal bila pembayarannya ditangguhkan. Misalnya nasi rames itu dijual seharga lima ribu rupiah kalau dibayar secara tunai. Tetapi kalau membayarnya akhir bulan, maka harganya ditetapkan menjadi enam ribu rupiah.
Maka yang menjadi prinsip adalah harga harus disepakati di awal, meski pun boleh jadi tidak seragam.
* * *
B. Harga Tidak Boleh Berbeda
Apabila kedua belah pihak telah menyepakati harga atas suatu barang atau jasa, namun disepakati pembayarannya ditangguhkan, maka yang tidak boleh dilanggar adalah perubahan harga karena maju mundurnya pembayaran.
Sebagai contoh sederhana, katakanlah dalam jual-beli rumah, telah ditetapkan bahwa harga rumah 100 juta bila dibayar tunai dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun.
Maka tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.
C. Hadits Larangan Dua Akad Dalam Satu Transaksi
Ada sebagian kalangan yang mengharamkan akad kredit ini dengan alasan bahwa akad kredit termasuk ke dalam transaksi dua akad dalam satu transaksi, atau yang lebih dikenal dengan istilah baitaini fi bai’atin.
Dan hal itu diambil dari larangan Nabi SAW dalam beberapa hadits berikut :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة واحدة
“Dari Abdurrahman dari Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dua akad dalam satu
transaksi.” (HR. Ahmad)
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad)
Memang benar bahwa Para ulama secara umum sepakat bahwa hukum ba’iatain fi bai’ah adalah dilarang berdasarkan hadits-hadits yang sudah dijelaskan di atas yang secara eksplisit menyatakan larangan terhadap hal tersebut.
Namun mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud dari istilah ba’iatain fi bai’ah itu sendiri. Setidaknya ada tujuh penafsiran istilah Ba’iatain fi Bai’ah menurut para ulama :
1. Penafsiran Pertama
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ba’iatain fi bai’ah adalah jual beli barang dengan dua pilihan harga, harga tunai dan harga kredit di mana harga kredit lebih mahal dari pada harga tunai.
Di antara yang berpendapat demikian ialah Sammak, perawi hadits larangan ba’iatain fi bai’ah. Menurut tafsiran ini, menjual barang dengan harga kredit yang lebih mahal dari harga tunai adalah terlarang.
2. Penafsiran Kedua
Tafsiran kedua ini hampir mirip dengan yang pertama hanya saja dalam penafsiran kedua ini penjual dan pembeli sama-sama tidak menentukan harga mana yang diambil, apakah harga tunai atau harga kredit kemudian keduanya berpisah begitu saja padahal akad jual beli sudah terjadi.
Di antara ulama yang berpendapat dengan tafsiran kedua ini di antaranya Abu ‘Ubaid, ats-Tsauri, Ishaq, ulama malikiyyah dan hanabilah.
3. Penafsiran Ketiga
Yang dimaksud ba’iatain fi bai’ah menurut penafsiran ketiga adalah jual beli satu barang dengan dua harga.
Contoh: saya jual barang ini dengan salah satu dari dua harga: satu dinar atau seekor kambing.
Atau menawarkan salah satu dari dua barang dengan satu harga. Ccontoh: saya jual seekor kambing atau sepotong pakaian dengan harga satu dinar.
Hal ini dilarang karena ada ketidakjelasan harga mana atau barang mana yang akan diambil. Penafsiran ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Baji.
4. Penafsiran Keempat
Menurut Ibnu al-Qayyim yang dimaksud dengan ba’iatain fi bai’ah adalah bai’ al-‘inah, yaitu jual beli kamuflase dengan tujuan untuk mendapatkan pinjaman berbunga.
Contohnya, A menjual barang kepada B seharga seratus ribu dicicil selama sebulan, dengan syarat setelah itu barang tersebut langsung dijual kembali kepada A dengan harga delapan puluh ribu secara tunai.
5. Penafsiran Kelima
Imam Syafi’i juga menafsirkan makna ba’iatain fi bai’ah maksudnya adalah mensyaratkan jual beli dalam jual beli (contoh: saya jual mobil ini kepada bapak, dengan syarat bapak jual motor bapak kepada saya dengan harga sekian).
6. Penafsiran Keenam
Penafsiran ini mirip dengan yang kelima, hanya saja yang disyaratkan bukan hanya jual beli saja tapi termasuk hal-hal lain seperti pemanfaatan barang (contoh: saya jual rumah ini sekarang dengan syarat saya tempati dulu rumahnya selama sebulan). Penafsiran ini adalah pendapat kalangan Al-Hanafiyyah.
Dari ketujuh penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama menafsirkan bai’atain fi ba’iah bahwa maksudnya adalah jual beli satu barang dengan dua harga sekaligus yaitu harga tunai dan harga kredit, di mana harga kredit lebih mahal dari harga tunainya.
Namun jika terjadi tawar-menawar sehingga pembeli menentukan harga mana yang dia ambil –apakah harga tunai atau harga kredit—maka tidak termasuk ke dalam kategori bai’atain fi ba’iah.
Jual-beli semacam ini dilarang karena ada unsur gharar (Ketidakjelasan) dalam harga barang.
Wallahua'lam bishsahwab.
Ahmad Sarwat
29 Juli pukul 12.22 ·
#Ahmad Sarwat