Peran Dokter Dalam Fikih Tayamum

Peran Dokter Dalam Fikih Tayamum - Kajian Medina
PERAN DOKTER DALAM FIKIH TAYAMUM

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

Saya tulis catatan ini untuk menunjukkan bahwa profesi kedokteran itu memiliki hubungan erat dengan ibadah dan upaya seorang hamba bertaqorrub kepada Allah. Dengan begitu, seorang dokter atau calon dokter akan mendapatkan motivasi ukhrowi untuk menjadi pakar dalam bidangnya karena ilmunya sangat berperan dalam menentukan benar-tidaknya ibadah seorang muslim. Peran ilmunya yang membantu saudaranya sesama iman juga bisa membuatnya berihtisab dan mengharap janji Allah untuk selalu ditolong-Nya, karena Rasulullah ﷺ menjanjikan siapapun yang menolong saudaranya maka Allah akan senantiasa menolongnya. Fakta kehidupan tidak bisa mengingkari ajaran Islam dalam hal ini. Ada ungkapan yang terkenal “Semua kebaikan yang engkau lakukan, semuanya akan kembali pada dirimu sendiri”. Muslim meriwayatkan,

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ (صحيح مسلم (13/ 212)

Artinya,

“Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya”

Peran dokter dalam fikih tayamum minimal ada dua,

Pertama, menetukan apakah seorang pasien sudah mendapatkan rukhshoh boleh bertayamum

Kedua, membantu pasien bermazhab Asy-Syafi’i untuk bersuci ketika dia terluka atau patah tulang.

Untuk bagian yang pertama penjelasannya adalah sebagai berikut.

Orang yang sakit diizinkan bertayamum. Hal ini ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,

{وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا } [النساء: 43]
Artinya,

“Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)” (An-Nisa’; 43)

Yang menjadi pertanyaan, sakit yang seperti apa yang membuat orang boleh bertayamum? An-Nawawi dalam Roudhotu Ath-Tholibin menjelaskan, sakit yang membolehkan tayamum hanyalah dua jenis sakit saja. Pertama, jenis sakit yang jika tersentuh air maka pasien akan tewas (fautur ruh) atau membuat salah satu anggota tubuhnya menjadi rusak tak berfungsi (fautul udhwi) tanpa membedakan apakah levelnya pasti ataukah sekedar dikuatirkan saja. Kedua, sakit yang jika tersentuh air maka akan membuat sakitnya semakin parah (ziyadatul i’llah).

Pertanyaannya, “Dari mana orang yang sakit bisa tahu bahwa sakitnya itu bisa menewaskan, atau merusak anggota tubuhnya, atau menambah penyakitnya?” Jawabannya adalah “Dari penilaian dokter”. Inilah peran dokter dalam ibadah tayamum. Orang yang tidak tahu level sakitnya, maka mau tidak mau dia memerlukan dokter dan membutuhkannya untuk menentukan apakah dia sudah boleh bertayamum ataukah tidak. Syarat dokter yang boleh dipercaya dalam informasi ini adalah muslim, baligh dan adil. An-Nawawi berkata,

يَجُوزُ أَنْ يَعْتَمِدَ فِي كَوْنِ الْمَرَضِ مُرَخِّصًا، عَلَى مَعْرِفَةِ نَفْسِهِ إِنْ كَانَ عَارِفًا. وَيَجُوزُ اعْتِمَادُ طَبِيبٍ حَاذِقٍ، بِشَرْطِ الْإِسْلَامِ، وَالْبُلُوغِ، وَالْعَدَالَةِ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (1/ 103)
Artinya,

“Terkait sakitnya apakah sudah boleh membuatnya mengambil rukhsah, boleh mengandalkan informasi dari pengetahuan dirinya sendiri jika memang dia mengetahui. Boleh juga mengandalkan seorang dokter pakar dengan syarat Islam, baligh, dan adil” (Roudhotu Ath-Tholibin juz 1 hlm 103)

Jika dokter yang dibutuhkan tidak ada, maka dia tidak boleh bertayamum. An-Nawawi berkata,

قُلْتُ: وَإِذَا لَمْ يُوجَدْ طَبِيبٌ بِشَرْطِهِ. قَالَ أَبُو عَلِيٍّ السَّبَخِيُّ: لَا يَتَيَمَّمُ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (1/ 104)
.
Artinya,
“Jika tidak ada dokter dengan syarat-syaratnya maka Abu Ali As-Sabakhi berkata, ‘Tidak boleh bertayamum” (Roudhotu Ath-Tholibin juz 1 hlm 104)

Untuk bagian yang kedua, yakni peran dokter membantu pasien bermazhab Asy-Syafi’i untuk bersuci sementara dia terluka atau patah tulang penjelasannya adalah sebagai berikut.

Telah diketahui bahwa dalam mazhab Asy-Syafi’i, orang yang terluka atau mengalami patah tulang, dalam bersuci dia dituntut melakukan tiga hal.

Pertama: Basuhlah area yang sehat (yang tidak terluka atau tidak mengalami patah tulang)
Kedua: Usaplah perban/plester/gips itu dengan air
Ketiga: Bertayamumlah sebagai pengganti area yang tidak bisa dibasuh/diusap air itu.

Tiga instruksi di atas baru sah jika memenuhi dua syarat,

Pertama; Gips/perban/plester hanya menutupi bagian yang cedera saja. Tidak boleh menutupi bagian yang sehat/tidak cedera. Boleh menutupi bagian yang sehat asalkan hanya sekedar untuk tempat “cantolan” gips/ perban/plester supaya tidak lepas.

Kedua; Gips/perban/plester dipasang dalam keadaan suci. Maksudnya, sebelum gips dipasang maka orang harus dalam kondisi bersuci dulu. Jika dia berhadas kecil maka harus berwudhu dulu, jika dia berhadas besar maka harus mandi besar dulu. Jika dipasang dalam keadaan tidak suci, padahal mampu melakukannya maka ia berdosa dan saat sudah sehat wajib mengulangi salatnya.

An-Nawawi berkata,

ثُمَّ مَا ذَكَرْنَاهُ الْأُمُورُ الثَّلَاثَةُ، إِنَّمَا يَكْفِي بِشَرْطَيْنِ. أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَأْخُذَ تَحْتَ الْجَبِيرَةِ مِنَ الصَّحِيحِ، إِلَّا مَا لَا بُدَّ مِنْهُ لِلِاسْتِمْسَاكِ. وَالثَّانِي: أَنْ يَضَعَهَا عَلَى طُهْرٍ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (1/ 106)

Artinya,
“Kemudian apa yang kami sebutkan, yakni 3 perkara sebelumnya itu, (tiga hal tersebut hanya) sah dengan dua syarat. Pertama, tidak menggunakan bagian yang sehat di bawah gips (untuk memasang gips) kecuali memang yang dibutuhkan untuk tempat cantolan. Kedua, meletakkan tips itu dalam kondisi suci” (Roudhotu Ath-Tholibin juz 1 hlm 104)

Dua syarat di atas hari ini akan sulit dilakukan secara ideal tanpa melibatkan dokter yang mengerti fikih tayamum. Untuk syarat pertama, ini terkait dengan cara membalut luka, menempatkan perban, memasang plester dan memasang gips. Ini umumnya dilakukan dokter. Jika dokternya mengerti hukum fikih, sementara pasiennya bermazhab Asy-Syafi’i, maka di antara bentuk pelayanannya adalah berhati-hati saat melakukan tindakan itu. Jangan sampai membalut luka, menempatkan perban, memasang plester dan memasang gips yang melebihi tempat yang diperlukan untuk sekedar mencantolkan perban/gips/plester itu. Jika sampai lebih, maka tayamum pasien menjadi tidak sah dan itu akan menyengsarakan pasien karena dia harus mengulang seluruh salatnya saat sembuh.

Untuk syarat yang kedua lebih rawan lagi karena pelaksanaannya lumayan ribet. Kebanyakan dokter pada saat membalut luka, menempatkan perban, memasang plester dan memasang gips pada pasien yang bermazhab Asy-Syafi’i tidak mengetahui bahwa pasien tersebut wajib bersuci atau dibantu bersuci sebelum perban/plester/gips itu dipasang. Akibatnya, biasanya perban/plester/gips langsung saja dipasang oleh dokter tanpa memperhatikan kebutuhan ibadah pasien. Hal ini bisa menyengsarakan pasien karena dia wajib mengulang salatnya jika sudah sembuh. Apalagi kasus operasi. Kondisi operasi yang mengharuskan steril kadang-kadang membuat ibadah semacam ini diabaikan, padahal jika pasien menuntut hal itu, maka yang demikian termasuk haknya dan semestinya difasilitasi meskipun harus menambah biaya tindakan misalnya.

Dari paparan ini bisa difahami, bahwa menjadi dokter muslim yang ideal ternyata tidak cukup hanya belajar murni ilmu kedokteran, tetapi juga perlu mempelajari fikih-fikih yang terkait dengan ilmu kedokteran. Para dokter muslim juga akan semakin mengerti betapa strategisnya peran mereka dalam membantu ibadah para pasien termasuk mendakwahi mereka yang barangkali melalaikan hal-hal yang dianggap kecil seperti ini.

Patut dicatat, peran dokter dalam fikih bukan hanya dalam topik tayamum, tapi banyak juga dalam topik lainnya seperti,

• Menentukan status keperawanan dalam kasus perselisihan seorang suami merasa ditipu dan ingin memfasakh pernikahan,
• Menentukan aib wanita seperti junun, judzam, barosh, rotaq, dan qoron sehingga layak dirodd ataukah tidak,
• Menentukan status suami apakah impoten yang bisa diobati ataukah tidak sehingga membuat istri berhak mengajukan khulu’ ataukah tidak,
• Menentukan apakah salat boleh sambil berbaring atau terlentang,
• Menentukan apakah sudah mendapatkan rukhshoh berobat dengan yang haram, dan lain-lain.

Pendeknya, ilmu kedokteran tidak bisa diremehkan peran langsungnya untuk melaksanakan hukum Islam. Jadi, seorang dokter atau calon dokter wajib mengetahui semua hukum fikih yang terkait dengan profesinya.

Versi Situs: http://irtaqi.net/20…/…/26/peran-dokter-dalam-fikih-tayamum/

23 Dzulqo’dah 1440 H

Muafa
26 Juli ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.