Tentang Memilih Guru Lagi

Tentang Memilih Guru Lagi - Kajian Medina
TENTANG MEMILIH GURU LAGI

Al-Imam Az-Zarnuji dalam Ta'lim Muta'allim mengatakan:

"Dalam memilih guru, hendaklah memilih yang paling 'alim, paling wara', dan juga paling senior usianya. Sebagaimana Al-Imam Abu Hanifah, maka menentukan pilihannya kepada Al-Imam Hammad bin Sulaiman, setelah lebih dahulu memikirkan dengan keras dan mempertimbangkannya matang-matang.

Beliau (Abu Hanifah) mengatakan: "Aku mengenalnya sebagai Syaikh yang berbudi pekerti luhur, lemah lembut, serta penyabar." Beliau menambahkan: "Aku menetap dalam majlisnya Hammad bin Sulaiman, dan ternyata akupun semakin tumbuh dan berkembang"."

Al-Hakim berkata kepada muridnya : "Jikalau engkau pergi ke Bukhara, janganlah engkau tergesa-tergesa dalam perselisihan para Imam (sehingga engkau bergonta-ganti guru). Tenangkanlah lebih dulu selama dua bulan, guna mempertimbangkan dan memilih guru (yang akan engkau pilih dan lazimi majlisnya). Karena bisa juga engkau pergi kepada orang alim dan mulai belajar kepadanya, tiba-tiba pelajarannya tidak menarik dan tidak cocok untukmu. Kemudian engkau berpindah ke guru yang lain, akhirnya pembelajaranmu tidak mendapatkan keberkahan. Karena itu, pertimbangkanlah dahulu selama dua bulan untuk memilih gurumu itu, dan bermusyawarahlah agar pilihanmu tepat, serta tidak lagi ingin berpindah atau berpaling dari guru tersebut. Dengan begitu, engkau mantap untuk belajar di situ, mendapatkan keberkahan dan engkau banyak mendapatkan manfaat ilmu yang diperoleh."

Jadi, sunnahnya para ulama Salaf, adalah memilih guru, mempertimbangkannya, bahkan memikirkannya melalui istikharah, sebelum memutuskan untuk melazimi majlisnya atau tidak. Lalu, bagaimana apabila sang guru ternyata tampak baik di hadapan kita, namun sejatinya ia memiliki begitu banyak aib di belakang kita?

Ketahuilah bahwa yang diperintahkan kepada kita adalah menilai yang tampak. Adapun yang tidak tampak, maka hal tersebut pertanggungjawaban pribadinya dengan Allaah. Bahkan, haram bagi kita mengorek-ngorek aib yang ia sembunyikan. Apabila mengorek-ngorek aib sesama muslim saja telah diharamkan oleh Allaah dan Rasul-Nya, maka bagaimana lagi mengorek-ngorek aib seseorang yang kedudukannya bahkan lebih tinggi dari orangtuamu, yakni gurumu.

Bahkan, Al-Imam An-Nawawi telah memberikan nasihat dengan mengutip sebuah doa dari kalangan Ulama Salaf. Saat akan pergi menuntut ilmu mereka berdoa:

اللهم استر عيب معلمي عني ، ولا تذهب بركة علمه مني
"Yaa Allaah tutuplah aib guruku dariku (jangan tampakkan aib guruku), dan jangan engkau hilangkan barakah ilmunya dariku..."

Adapun apabila sang guru telah melakukan hal-hal yang tidak layak secara terang-terangan, apalagi bermaksiat secara terang-terangan, maka saat itu engkau boleh bahkan wajib mengingkarinya secara terang-terangan pula, sesuai dengan kadar amal buruk yang dilakukannya. Bahkan, engkau mesti meninggalkannya, saat ada kekhawatiran keburukannya tersebut akan memengaruhimu.

Sedangkan mereka yang secara lahirnya tampak baik, maka sungguh tidak layak bagi kita untuk berprasangka buruk, karena bisa jadi keburukan yang tersembunyi dari diri kita jauh lebih besar daripada aib-aibnya. Dan bisa jadi pula aib-aibnya telah diampuni disebabkan tangisan taubatnya di waktu dan tempat yang tidak kota ketahui, sedangkan keburukan kita, yakni berprasangka buruk padanya tidak pernah kita taubati. Semoga Allaah menjaga hati kita sekalian dari segala bentuk penyakit hati yang merusak keberkahan, dan tidak menghilangkan keberkahan ilmu guru-guru kita dari kita. Aamiin.

- Laili Al-Fadhli -

Laili Al-Fadhli
5 April pukul 16.26 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.