Hukum Mengeraskan Suara Dzikir Setelah Shalat

Hukum Mengeraskan Suara Dzikir Setelah Shalat - Kajian Medina
HUKUM MENGERASKAN SUARA DZIKIR SETELAH SHALAT

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengeraskan suara dzikir setelah shalat fardhu. Sebagian menganjurkan, sebagian lain tidak menganjurkan.

Ibnu Hazm berkata:

ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن

“Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)

Dalam Kasyaful Qinna’ karya Al Buhuti disebutkan:

ويستحب الجهر بالتسبيح والتحميد والتكبير عقب كل صلاة

“Dianjurkan mengeraskan suara tasbih, tahmid dan takbir setelah shalat.” (1: 366)

Ibnul Utsaimin mengatakan:

الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة

“Mengeraskan dzikir setelah shalat adalah sunnah.” (Majmu’ Fatawa Ibnul Utsaimin, 13: 247, 261)

Bahkan ia menentang pendapat yang membid’ahkan amalan ini, ia berkata:

وأما من قال : إن الجهر بذلك بدعة ، فقد أخطأ فكيف يكون الشيء المعهود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم بدعة

“Adapun orang yang membid’ahkannya, ia telah keliru. Bagaimana mungkin sesuatu yang telah biasa dilakukan di zaman Nabi dikatakan bid’ah?” (ibid)

Ibnu ‘Abbas berkata:

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Mengeraskan suara dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi. Dahulu aku mengetahui bahwa shalat telah selesai jika aku mendengar suara itu.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ

“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ الْجَهْرِ بِالذِّكْرِ عَقِبَ الصَّلَاةِ

“Di dalam hadits tersebut terdapat dalil mengeraskan suara dzikir setelah shalat.” (Fathul Bari
Ibn Hajar, 2: 325)

Ath Thabari berkata:

فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء من التكبير عقب الصلاة

“Dalam hadits tersebut terdapat bukti benarnya perbuatan para pemimpin yang bertakbir setelah shalat.” (Lihat: Fathul Bari Ibn Hajar, 2: 325)

Tapi, konon Malik mengatakan bahwa amalan tersebut muhdats (bid’ah).” (Lihat: Fathul Bari Ibn Hajar, 2: 326)

Dalam hadits lain, disebutkan bahwa Rasulullah setelah shalat mengeraskan suara dengan membaca dzikir berikut ini:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ، وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

(HR. Muslim no. 594)

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa mayoritas ulama, termasuk Imam Empat, sepakat untuk memelankan suara dzikir dan tidak menganjurkan mengeraskan suara dzikir dan takbir. (Lihat: Syarh Nawawi ala Shahih Muslim, 5: 84; Fathul Bari Ibn Rajab, 5: 235; Fathul Bari Ibn Hajar, 2: 325)

Di antara dalil yang dijadikan larangan mengeraskan dzikir adalah riwayat Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »

“Kami pernah bersama Rasulullah. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704).

Ath Thabari berkata:

فِيهِ كَرَاهِيَة رَفْع الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَ عَامَّة السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ

“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.” (Fathul Bari Ibn Hajar, 6: 135)

Adapun Asy Syafi’i, ia menafsirkan hadits Ibnu Abbas di atas hanya dilakukan dalam rangka pengajaran saja, bukan dilakukan secara terus-menerus. Ia berkata:

وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه

“Aku menganggap bahwa Rasul mengeraskan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat.” (Al Umm, 1: 151)

Sedangkan Asy Syathibi berpendapat bahwa doa berjama’ah yang dilakukan terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Sebagaimana pula tidak ada perkataan atau persetujuan beliau tentang amalan ini. Dalam riwayat Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, “Rasulullah hanya diam sesaat setelah salam.” Ibnu Syihab berkata, “Beliau diam supaya para wanita keluar. Demikian anggapan kami.” Dalam riwayat Muslim disebutkan dari ‘Aisyah, “Beliau tidaklah duduk selain sekadar membaca, “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaroka ya dzal jalaali wal ikrom.” (Al I’tishom, 1: 351)

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk mengeraskannya. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 22: 468-469)

Kesimpulannya, para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Namun berdasarkan dalil-dalil yang ada, tampak bahwa pendapat yang membolehkan lebih kuat daripada yang melarang.

Wallahu a’lam.

Danang Kuncoro Wicaksono

Sumber : https://danangsyria.wordpress.com/2018/07/12/hukum-mengeraskan-suara-dzikir-setelah-shalat/ (12/07/2018)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.