Hukum Memberi Hadiah Kepada Guru

Hukum Memberi Hadiah Kepada Guru - Kajian Medina
HUKUM MEMBERI HADIAH KEPADA GURU

Oleh : Abdullah Al Jirani

Tidak boleh bagi seorang pegawai/guru yang bekerja pada suatu instansi/perusahan/sekolah dan yang sejenisnya, untuk menerima hadiah atau ‘uang tips’ atau ‘bonus’(sebagian mengistilahkan dengan gratifikasi) dari pihak lain, dimana pihak lain tadi memberi kepadanya disebabkan karena jabatan dia di tempat tersebut. Seandainya dia tidak bekerja di instansi tersebut, maka pihak tadi tidak akan memberi suatu hadiah/uang tips kepadanya. Kemudian, dia juga sudah diberi upah secara sempurna dari tempat dia bekerja sesuai dengan hak-nya. Maka jika dia masih menerima pemberian tersebut, maka itu sebagai bentuk khianat. Larangan ini juga berlaku kepada yang memberi.

Hal ini berdasarkan riwayat berikut :

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، قَالَ: اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ، يُدْعَى ابْنَ اللُّتْبِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ، قَالَ: هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ، حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا» ثُمَّ خَطَبَنَا، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: " أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى العَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ، فَيَأْتِي فَيَقُولُ: هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي، أَفَلاَ جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ، وَاللَّهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ " ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ، يَقُولُ: «اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ» بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي

“Dari Abu Humaid As-Sa’idi dia berkata : Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa salam- mempekerjakan seorang laki-laki yang biasa dipanggil Ibnul Lutbiyyah untuk memungut shodaqoh ( zakat ) Bani Sulaim. Maka tatkala ( Ibnul Lutbiyyah ) datang, diapun menghitungnya seraya berkata : Ini harta kalian dan ini hadiah ( untukku ). Maka Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda : “Tidakkah kamu duduk di rumah bapakmu dan ibumu sehingga hadiahmu datang kepadamu jika kamu seorang yang jujur. Kemudian beliau berkhuthbah kepada kami, lalu memuji Alloh dan menyanjung-Nya lantas berkata : “Amma ba’du, sesungguhnya aku telah memperkerjakan seorang laki-laki dari kalian untuk suatu tugas dari apa yang telah Alloh serahkan kepadaku. Lalu dia dia datang seraya berkata : “Ini harta kalian dan ini hadiah yang diberikan untukku. Tidakkah dia duduk di rumah bapak atau ibunya sehingga hadiahnya datang kepadanya ? Demi Alloh ! tidak boleh bagi salah seorang diantara kalian untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya kecuali dia akan bertemu dengan Alloh dalam keadaan memikul sesuatu itu nanti di hari kiamat. Sungguh aku mengetahui seorang diantara kalian bertemu dengan Alloh dalam kondisi membawa onta, atau sapi, atau kambing yang bersuara. Kemudian dia mengangkat tanganya sehingga terlihat putihnya ketiak beliau seraya berkata : Ya Alloh bukankah aku telah sampaikan. ( Abu Humaid As-Saidi berkata ) : Mataku telah melihat ( Rosulullah mengucapkan kalimat ini dan mengangkat tangannya ) dan telingaku telah mendengar ( apa yang diucapkan beliau )”. [ HR. Al-Bukhari : 6979 dan Muslim : 1832 ].

Imam Ibnu Hajar – rahimahullah – berkata :

وَمَشْرُوعِيَّةُ مُحَاسَبَةِ الْمُؤْتَمَنِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْبَحْثُ فِيهِ فِي الزَّكَاةِ وَمَنْعِ الْعُمَّالِ مِنْ قَبُولِ الْهَدِيَّةِ مِمَّنْ لَهُ عَلَيْهِ حُكْمٌ

“Disyari’atkan untuk menghitung ( sesuatu yang diserahkan kepada ) orang yang dipercaya – pembahasan masalah ini telah berlalu dalam bab zakat – dan disyari’atkan pula untuk melarang para pegawai/pekerja untuk menerima hadiah dari orang yang dia memiliki hukum atasnya”.
[ Fathul Bari : 13/167 ].

Hal ini diperkuat oleh riwayat Abu Humaid As-Saidi, Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda :

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

“Hadiah para pekerja/pegawai adalah khianat”. [ HR. Ahmad, Al-Baihaqi dan sanadnya dishahihkan oleh asy-syaikh Al-Albani dalam “Shohihu Jami’ “ : 6898 ].

Imam An-Nawawi – rahimahullah – (wafat : 676 H) berkata :

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيَانُ أَنَّ هَدَايَا الْعُمَّالِ حَرَامٌ وَغُلُولٌ لِأَنَّهُ خَانَ فِي وِلَايَتِهِ وَأَمَانَتِهِ وَلِهَذَا ذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ فِي عُقُوبَتِهِ وَحَمْلِهِ مَا أُهْدِيَ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَمَا ذَكَرَ مِثْلَهُ فِي الْغَالِّ وَقَدْ بَيَّنَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفْسِ الْحَدِيثِ السَّبَبَ فِي تَحْرِيمِ الْهَدِيَّةِ عَلَيْهِ وَأَنَّهَا بِسَبَبِ الْوِلَايَةِ بِخِلَافِ الْهَدِيَّةِ لِغَيْرِ الْعَامِلِ فَإِنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ

“Di dalam hadits ini terdapat keterangan sesungguhnya hadiah untuk para pekerja/pegawai ( dari pihak lain karena jabatan dia di tempat dia bekerja ) termasuk perkara haram dan bentuk khianat. Karena sesungguhnya dia telah berkhianat dalam jabatan dan amanahnya. Oleh karena ini, telah disebutkan dalam hadits tersebut hukuman baginya dan dia akan membawa apa yang dihadiahkan kepadanya nanti di hari kiamat sebagaimana telah disebutkan semisal ini dalam masalah seorang yang menipu. Dalam hadits itu juga, rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa salalm – telah menerangkan sebab dalam pengharaman hadiah baginya ( bagi para pekerja/pegawai ). Karena sesungguhnya hal itu karena sebab tugas/jabatan, lain halnya hadiah untuk selain pekerja/pegawai, maka ini dianjurkan.”
[ Syarh Shahih Muslim : 12/219 ].

Dari ucapan Imam An-Nawawi – rahimahullah – di atas juga dapat kita ambil faidah, sesungguhnya bila seorang pegawai atau pekerja diberi hadiah dari pihak tertentu, tapi bukan karena jabatan/tugas dia, akan tetapi karena kerabat, atau teman, atau karena sudah adat sebelum dia menjabat suatu jabatan, maka ini diperbolehkan.

Imam Asy-Syaifi’i – rahimahullah – berkata :

وما أهدى له ذو رحم و مودة كان يهاديه قبل الولاية فالترك أحب , و لا بأس أن يقبل و يتمول

“Dan apa yang dihadiahkan kepadanya dari pihak yang punya hubungan kerabat dengannya dan hubungan karena rasa kasih sayang, yang sudah biasa dia berikan kepadanya sebelum dia memangku suatu jabatan, maka meninggalkannya lebih aku senangi, dan tidak mengapa untuk menerimanya dan menyimpannya untuk dirinya sendiri”.[ disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab “Idhoul Ahkam Lima Ya’khudzul ‘Ummal Wal Hukkam” hal : 49 ].

Termasuk yang dibolehkan, ketika seorang guru misalnya, dia mengajar tanpa punya ikatan dengan suatu lembaga atau instansi tertentu yang menggaji dia, seperti guru pondok yang guru-gurunya tidak diikat oleh gaji, atau guru TPA di kampung-kampung yang tidak ada ikatan gaji dari lembaga tertentu, atau guru ngaji (guru taklim/pengajian) secara umum, maka boleh untuk menerima hadiah dari muridnya. Wallahu a'lam bish shawab.

Semoga bermanfaat. Barakallahu fiikum.

Solo, 04/04/2019

Abdullah Al Jirani memperbarui statusnya.
4 April pukul 07.05 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.