* PERINGATAN : Tulisan ini panjang sekali, kalau kurang-kurang pinter memahaminya, pasti keburu bosan.
Dulu sewaktu masih SD dan SMP, rasanya belajar Matematika itu menyenangkan sekali. Selain dalam keseharian bisa dipakai, guru-guru saya cukup menyenangkan ketika mengajarkannya. Pokoknya Matematika adalah pelajaran paling favorit saya. Apalagi wali kelas saya SMP juga spesialisasinya Matematika. Pas dan kena sekali.
Tapi begitu masuk ke SMA, saya mulai merasakan Matematika itu sudah tidak lagi menyenangkan. Apalagi kalau sudah mulai masuk ke urusan sinus, co sinus, tangen dan seterusnya. Matematika jadi membosankan dan kayak hanya mengada-ada saja.
Belum lagi masuk sub bab Linier diteruskan dengan Kalkulus. Wah, blas mulai nggak paham. Saat itu saya mulai merasakan gerah dengan pelajaran satu ini, tidak seperti ketika di SD atau SMP yang masih mengasyikkan.
Saya tidak tahu apa yang sebenarnya yang sedang saya alami saat itu. Apakah saya yang mulai kurang pintar, ataukah teman-teman SMA saya yang justru semakin pintar. Ataukah guru saya yang kurang pinter membawakan pelajaran ini sehingga bukan hanya membosakan, juga menyulitkan serta menakutkan.
Intinya yang saya rasakan saat itu bahwa Matematika itu adalah pelajaran yang mengada-ada, tidak terlalu berguna dan tidak sesuai kebutuhan saya saat itu.
* * *
Barangkali kurang hal itu juga yang mungkin banyak dirasakan oleh para tokoh agama hari ini terkait pelajaran ilmu fiqih. Dalam pandangan mereka, membahas fiqih itu nyaris tidak ada gunanya. Masalahnya hanya sederhana, ayatnya dan haditsnya cuma segitu, kok pembahasannya jadi panjang sampai kemana-mana? Sampai menghabiskan berlembar-lembar buku.
Belum lagi adanya perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada mazhab ini dan mazhab itu, macam-macam banyak sekali. Semua itu malah bikin umat semakin bingung dan tidak menyentuh esensi dari bertauhid itu sendiri.
Maka banyak ustadz-ustadz di perkotaan yang rada-rada anti dengan ilmu fiqih. Agak sinis dan kurang respek kalau diajak bicara ilmu fiqih. Fiqih itu dalam anggapan mereka terlalu mengada-ada, terlalu bertele-tele, terlalu banyak campur tangan dan pendapat manusia.
Belajar Fiqih itu hanya cenderung mubazzir, buang-buang waktu. Padahal resikonya orang jadi pada berantem karena saling berbeda pendapat melulu.
* * *
Awal mula saya kuliah di LIPIA S1 Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab, saya sempat protes juga. Semua uneg-uneg di atas saya sampaikan ke pihak dosen.
Intinya buat apa kita masih mengurusi masalah air dua qullah, sementara musuh-musuh kita sudah mampu menciptakan bahan bakar dari air. Buat apa kita ribut masuknya rukyat hilal bulan Ramadhan, sementara musuh-musuh kita malah sudah bisa mendarat di Bulan.
Percaya tidak percaya, ternyata saya ini juga pembenci ilmu fiqih juga. Minimal mantan pembenci. Meski saya kuliah di Fakultas Syariah, sebenarnya saya justru rada-rada kurang sreg dengan ilmu yang saya pelajari. Mirip dengan belajar Matematika di SMA yang saya ceritakan tadi. Saya merasa tidak ada gunanya.
* * *
Barulah setelah lulus kuliah saya sedikit lebih sadar, khususnya ketika banyak orang justru sering bertanya masalah fiqih.
Padahal ceramah saya tidak bertema fiqih, saya bicara tentang Faktor-faktor Kemunduran Umat Islam, atau saya sering juga ceramah tentang Al-Ghazwul-fikri. Bahkan saya sering juga ceramah tentang Proses Kristenisasi dan Upaya Menghalaunya. Intinya tema ceramah saya ini bergenre harokah, semangat jihad, perang, perjuangan, mati syahid atau setidaknya meniupkan ruh pergerakan.
Namun tetap saja lebih banyak yang bertanya tentang hal-hal yang membatalkan wudhu, tata cara tayammum, najis yang dimaafkan, apa itu tuma'ninah dalam shalat, bagaimana caranya jadi masbuk, makmum baca fatihah apa tidak, harta apa saja yang terkena zakat, bagaimana cara berihram, atau bagaimana cara membadalkan haji. Semua itu tidak ada kaitannya dengan jihad, pergerakan apalagi mati syahid.
Tentu saja saya dengan mudah bisa menjawab semua itu. Lha kan saya memang kuliah di Fakultas Syariah, tiap hari kerjaan saya memang belajar begituan selama 8 semester, lengkap dengan perbandingan mazhabnya.
* * *
Akhirnya lama kelamaan saya baru sadar, justru pelajaran ilmu fiqih yang selama ini saya benci yang banyak orang ingin tahu dan ingin belajar.
Dan lama-lama saya blenek juga ngomongin pergerakan, jihad, yahudi, freemasonri atau teori konspirasi. Sensasinya sudah luntur, teorinya tidak menapak ke bumi. Hanya sensasi belaka tanpa produk nyata.
Saya malah lebih rajin kembali ke kitab warisan pada ulama. Fiqih itu tidak harus kuno, ortodox, konvensional dan ketinggalan zaman juga sih. Justru fiqih itu sangat logis dan masuk akal. Ilmu yang bukan sembarangan orang bisa menguasainya.
Memang ilmu fiqih itu njelimet dan detail, sehingga kelas-kelas saya yang rada kurang pinter saat itu merasa tidak paham-paham juga. Bukan fiqihnya yang bermasalah, saya nya yang rada kurang vitamin, tidak mampu mengikuti kerumitan logika ilmiyah ilmu fiqih.
Sekarang say merasakan bahwa fiqih itu ilmu yang amat keren, karena tidak semua ustadz yang tukang ceramah mampu menguasainya. Seperti balada belajar Matematika di atas, yang bermasalah itu buakn Matematikanya. Tapi kitanya saja yang rada o-on, kurang pinter, IQ jongkok.
Tapi yang disalah-salahkan malah Matematika. Hehe terbiasa cari kambing hitam barangkali.
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Ahmad Sarwat
23 Maret pukul 20.01 ·
#Ahmad Sarwat