Tahun 1987 Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (KTT-OKI) di Aman Jordania menetapkan kuota haji. Setiap negara hanya boleh mengirim 1 orang jamaah haki untuk seribu penduduk muslimnya, alias 1 per mil. Misalnya muslim Indonesia berjumlah 210 juta, yang boleh haji hanya 210 ribu orang saja.
Ketentuan kuota ini haji baru berlaku pertama kali tahun 1987, sebagai ketentuan yang pertama kali dalam sejarah umat Islam sepanjang 15 abad. Sebelumnya tidak pernah ada larangan dengan pembatasan kuota macam ini. Sebelumnya padang pasir Arafah, Muzdalifah dan Mina masih lengang-lengang saja meski dibanjiri jamaah dari seluruh dunia.
Kalau pun ada halangan, biasanya karena faktor perjalanan yang tidak aman, seperti banyaknya penyamun dan perampokan. Atau misalnya terjadi peperangan di wilayah yang dilalui. Kasus lain misalnya ada rombongn haji yang tersesat di gurun pasir. Selain ituada kasus kapal laut jamaah haji yang dilamun ombak. Semua itu memang bisa jadi penghalang haji di masa lalu.
Namun kalau penghalangnya karena tempat hajinya tidak muat, Kota Mekkah tidak memadai, lantaran saking banyaknya jumlah jamaah haji, sehingga sampai dibatasi pakai kuota, maka baru terjadi di abad ke-15 hijriyah ini saja.
Mungkin secara imaginer seandainya Nabi Muhammad SAW menyaksikan kepadatan padang pasir dengan umatnya hari ini, beliau pasti berbangga. Karena Beliau SAW bersaing dengan umat lain main banyak-banyakan pengikut.
Tidak kalah bangganya dengan kakek moyangnya yaitu Nabi Ibrahim as, yang memulai pembangunan kembali Baitullah di wadi tanpa tanaman (في واد غير ذي رزع). Kala itu Beliau Allah perintahkan untuk memanggil orang-orang berhaji. Niscaya mereka akan berdatangan mendatangi. Nah, sekarang sudah berdesakan rebutan mau mendatangi Baitullah.
* * *
HAJI 1991 BELUM PAKAI KUOTA
Saya berangkat haji tahun 1991. Meski sudah ada pembatasan kuota, nampaknya masih aman-aman saja. Tidak tahu apa karena peminat haji di negeri kita saat itu masih rendah atau karena apa, yang jelas saat itu saya mudah sekali pergi haji. Yang penting duitnya ada, sebulan urusan bisa langsung pergi haji.
Waktu itu alm. ibu saya yang mengajak saya menemani pergi haji. Bawa rombongan jamaah pengajian pula. Saya baru lulus SMA tahun 1991, masih kuliah tahun kedua.
Baru terasa ada pembatasan sekitar tahun 1996-an. Saat itu ada saudara yang pergi haji mengajak istri dan ibunya. Di komputer siskohaj, pendaftaran dirinya dan istrinya keterima. Tapi ibundanya tidak keterima. Maka yang bisa berangkat cuma dia dan istrinya. Ibunya cuma bisa mencucurkan air mata.
ANTRI 20 TAHUN
Sekarang ini istri saya ribut mau pergi haji, ternyata disuruh antri dulu sampai 20 tahun lagi. Haha, keburu jadi nenek-nenek dulu baru bisa haji kalau begini caranya.
Kalau cuma umrah, sudah bolak-balik. Tapi dalam umrah kita tidak merasakan kepanasan wuquf di Arafah, atau rebutan melontar kerikil jamarat dan nginep di tenda sederhana di padang pasir bersama lautan manusia. Sensasi macam iti tidak ketemu di umrah-umrah itu. Lagian ibadah haji itu kan rukun Islam kelima, yang hukumnya wajib sekali seumur hidup.
SOLUSI
Kalau mau 'curang dikit', biar nunggunya cuma 5 tahun, bisa pakai haji plus. Saya sebut 'curang' karena harganya itu loh. Kira-kira bisa buat menghajikan tiga atau empat orang sekaligus dengan harga rakyat jelata.
Kalau mau lebih 'curang' lagi, bisa berangkat langsung tahun ini juga, pakai haji furoda. Ini paket yag semakin laris saja. Tapi biayanya itu loh yang nggak nahan. Berapa? Kira-kira setara menghajikan sepuluh orang rakyat jelata deh. Waw . . . tajir ngacir.
Kalau mau 'curang plus licik' bisa juga, ndaftar saja jadi tenaga haji musiman. Gratis, tidak bayar malah dikasih honor alias uang saku. Disana kerja, tapi bisa sekalian haji juga.
Tapi yang minta dan minat pasti bejubel juga. Rebutan pastinya. Saya tidak tahu bisa nyogok apa nggak. Kita tidak boleh zu'uzhon.
Yang paling senang adalah teman-teman saya sesama ustadz yang punya travel haji plus. Minimal jadi rekanan atau apa lah istilahnya. Sudah setiap tahun dapat jatah bolak-balik membimbing haji, karena sudah punya jatah tersendiri, dapat honor pula.
Beda dengan tenaga musiman yang disana kudu kerja peras keringat banting tulang melayani jamaah. Para ustadz yang mulia ini disana kerjanya santai saja. Cukup ceramah dan menasehati orang. Plus dapat jatah sekamar dengan istri pulak. Tahallulnya tiap hari tuh. Wah wah . . .
فبأي آلآء ربكما تكذبان
Lepas dari semua itu, yang jelas 15 abad yang lalu, barangkali tidak ada yang membayangkan padang pasir ketutup orang kayak gini.
Ahmad Sarwat,Lc.MA
Ahmad Sarwat memperbarui statusnya.
22 Maret pukul 10.09 ·
#Ahmad Sarwat