@Abdullah Al Jirani
Dalam suatu perjalanan beberapa hari yang lalu, saya mampir di sebuah rumah makan. Saat itu saya semeja dengan seorang anggota TNI AD yang berdinas di sebuah kota. Tanpa saya minta, tiba-tiba beliau ‘curhat’ bahwa kemarin sangat kesal karena saat salat Magrib, salah satu jama’ah bersikeras menempelkan kakinya ke kaki beliau. Karena merasa tidak lazim (aneh), beliau berusaha menghindar. Akan tetapi orang tersebut terus mengejarnya dan berusaha untuk menempelkan mata kakinya. Karena merasa terganggu, akhirnya beliau “menginjak” kaki orang tersebut, baru setelah itu dia berhenti๐. Saya hanya bisa tertegun mendengar curhatan tersebut.
Ini sebuah kasus dari puluhan kasus yang pernah saya saksikan atau saya dengar secara langsung. Itu baru dari saya, mungkin selain saya juga memiliki berbagai pengalaman pribadi dalam masalah ini. Walaupun hal ini dilakukan oleh “oknum”, namun jelas sebagai sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya.
Makna perintah merapatkan shaf yang terdapat dalam beberapa hadits, bukanlah maknanya menempelkan mata kaki dengan mata kaki secara “hakiki”. Akan tetapi, mata kaki itu hanya dijadikan sebagai “alat ukur” untuk meluruskan. Artinya, meluruskan shaf dilakukan dengan mensejajarkan mata kaki dengan mata kaki (dibuat setentang/sejajar). Karena dengan sejajarnya atau setentangnya mata kaki dengan mata kaki, secara otomatis shaf lurus. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata :
ููุฐุง َْููู ุงูุตุญุงุจู - ุฑุถู ุงููู ุนูู - ูู ุงูุชุณููุฉ: ุงูุงุณุชูุงู ุฉ, ูุณุฏ ุงูุฎูู, ูุง ุงูุฅِูุฒุงู ูุฅِูุตุงู ุงูู ูุงูุจ ูุงููุนุงุจ
“Makna ini (apa yang disampaikan Ibnu Hajar) merupakan pemahaman para sahabat –radhiallahu ‘anhum- dalam meluruskan (shaf), yaitu : lurus dan menutup celah, BUKAN melekatkan dan menempelkan pundak dan mata kaki.” [ La Jadida fi Ahkamish Shalat : 12 ].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :
ูู ู ุงูุบูู ูู ูุฐู ุงูู ุณุฃูุฉ ู ุง ููุนูู ุจุนุถ ุงููุงุณ ู ู ูููู ููุตู ูุนุจู ุจูุนุจ ุตุงุญุจู ูููุชุญ ูุฏู ูู ููู ุง ุจูููู ุง ุญุชู ูููู ุจููู ูุจูู ุฌุงุฑู ูู ุงูู ูุงูุจ ูุฑุฌุฉ ููุฎุงูู ุงูุณูุฉ ูู ุฐูู، ูุงูู ูุตูุฏ ุฃู ุงูู ูุงูุจ ูุงูุฃูุนุจ ุชุชุณุงูู
“Termasuk perbuatan ghuluw (melampaui batas) dalam masalah ini (merapatkan dan meluruskan shaf), apa yang dilakukan oleh sebagian manusia, berupa melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya, dan membuka kedua kakinya (ngangkang) di antara keduanya, sehingga terjadi celah/jarak antara pundaknya dengan pundah temannya. Maka dia telah menyelisihi sunnah dalam hal itu. Padahal yang dimaksud, pundak-pundak dan mata kaki-mata kaki itu lurus (bukan saling nempel).” [ Fatawa Arkanil Islam : 312 ].
Semoga kedepannya semakin banyak da’i yang menjelaskan masalah ini secara ilmiyyah dengan mengedepankan hikmah. Sehingga masyarakat bisa tercerahkan tanpa perlu lagi ada kejadian-kejadian seperti ini. Amiin.....
Menurut para pembaca, kapan kira-kira kasus “injak-menginjak kaki” dalam meluruskan shaf mulai muncul ? Karena saat saya kecil, kejadian seperti ini tidak pernah saya dengar dan saya saksikan. (Abdullah Al-Jirani)
Abdullah Al Jirani
15 Februari pukul 17.15 ·
#Abdullah Al Jirani