Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Ada sebagian orang, atau mungkin banyak orang, yang mempertanyakan untuk apa ada sertifikat halal dari LPPOM MUI? Bukankah halal haram makanan adalah yang sudah jelas sehingga hampir semua kaum muslimin tahu? Kalau bahannya daging sapi ya jelas halal, baru kalau daging babi ya haram, tak perlu sertifikat segala bukan?
Pikiran sederhana seperti di atas ada benarnya tapi lebih banyak tidak benarnya. Kenapa demikian? Sebab ada penyederhanaan soal halal-haram. Kehalalan makanan bukan hanya soal babi atau non-babi, tapi banyak hal sebagaimana disebutkan di kitab-kitab fikih. Perlu dicek seluruh bahannya apakah murni dari bahan suci? apakah penyembelihannya sudah sesuai syariat? Apakah diolah dengan cara yang syar'i pula atau justru tak jelas? Apakah segala sesuatu yang bersentuhan dengan produk itu, cangkang, bungkus, atau lainnya juga suci? dan banyak hal lain yang harus dipertimbangkan.
Banyak daging sapi yang seharusnya halal tapi ternyata disembelih dengan cara tidak syar'i sehingga statusnya bangkai. Ada juga daging sapi yang ternyata dijual oleh produsen yang juga menjual daging babi dengan tempat tak terpisah. Ada juga daging sapi/ayam yang ternyata setelah diselidiki hanya sebagian berasal dari lokal dan sebagian besarnya justru diimpor dari luar negeri yang tak jelas asal usul penyembelihan dan penyimpanannya. Ada juga daging bakso yang semua bahannya sudah jelas halal (bahkan punya sertifikat halal) tapi ternyata dagingnya digiling di pasar yang penggilingannya menerima semua jenis daging tanpa dicek itu daging apa. Dan ada segudang masalah lain yang kompleks yang harus dicek sehingga yakin betul bahwa suatu produk adalah halal.
Nah sertifikat halal ini untuk menjamin seluruh proses itu terpenuhi secara syariah (setidaknya secara dhahir) sebab ia dikeluarkan setelah suatu produk makanan dicek secara ketat oleh auditor berpengalaman dengan standar sistem yang dijadikan rujukan oleh dunia Internasional. Kalau tak ada badan khusus yang mau bertugas untuk menyelidiki masalah kompleks ini, lantas siapa yang mau melakukannya?
Ada juga pertanyaan lain yang muncul; kenapa bukan sertifikat haram saja yang dikeluarkan di negeri ini? Bukankah makanan di negeri mayoritas muslim hampir seluruhnya memang halal sehingga tak tepat kalau yang dicek adalah halalnya sebab terlalu banyak? Gugatan ini ada benarnya tapi sulit diimplementasikan sebab banyak produsen tak jujur. Berapa banyak produsen yang mau dengan jujur mengaku produknya tidak halal secara sukarela tanpa dicek? Akhirnya supaya masyarakat tahu suatu produk sudah halal atau tidak, ya harus ada yang mengecek semua produk yang beredar apakah layak disebut halal ataukah tidak. Yang namanya filter ya harus mengecek seluruhnya bahkan yang secara dhahir halal sekalipun harus dicek ulang, bukan yang jelas-jelas haram saja melalui pengakuan produsen lalu diberi label "makanan haram".
Andai produsen berniat baik mau melaporkan produknya bila ada bahan haram, tapi berapa banyak produsen yang paham soal halal-haram dalam dunia fikih? Banyak sekali produsen yang mengajukan sertifikat halal bagi produknya karena sudah yakin halal tetapi setelah dicek oleh auditor ternyata ada bagian yang tak jelas kehalalannya atau bahkan jelas tak halal tapi dia tak mengetahuinya.
Pertanyaan lainnya bersifat iseng tapi menggelitik; Terus kalau suatu produk tak dapat sertifikat halal berarti haram? Jawabannya: tidak berarti haram. Bisa saja dan bahkan sangat banyak suatu produk tanpa sertifikat halal tetapi nyata-nyata halal seperti tempe, tahu dan makanan sehari-hari lain. Hanya saja kalau tak ada sertifikatnya itu berarti produk tersebut tak pernah diaudit oleh seorang ahli (dengan mengacu pada standar yang ditetapkan) terkait seluruh hal yang berpengaruh pada kehalalannya. Itu saja artinya. Dengan demikian, pencantuman label halal dapat menghilangkan keraguan yang mungkin ada dalam pikiran konsumen dan sebagai jaminan dari produsen bahwa produknya dari proses awal hingga akhir sudah sesuai aturan syariat.
Pertanyaan lainnya muncul karena murni ketidaktahuan akan maksud dan tujuan label halal. Misalnya ada yang mempertanyakan kenapa pula hingga makanan kucing ada label halalnya? Memangnya takut kucingnya makan barang barang haram? Hahaha... Memang sepintas lucu ketika kita temukan makanan kucing dengan sertifikat halal sebab halal haram itu kan bagi manusia, bukan bagi kucing. Tapi sebenarnya maksud keberadaan label halal di situ bukan sebagai tanda bahwa makanan itu halal dikonsumsi manusia atau dikonsumsi kucing, tapi maksudnya makanan itu tidak najis sehingga kalaupun terkena barang-barang lain tak perlu disucikan dan kalau pun harus disimpan di lemari pendingin tak perlu khawatir menajiskan hal lain. Nah kan enak kalau ada tanda yang menjelaskan hal ini di tiap produk.
Semoga bermanfaat.
*Keterangan gambar: Ini waktu saya ikut rapat koordinasi sertifikasi halal yang diselenggarakan LPPOM MUI Provinsi Jawa Timur, 15-16 Februari 2019.
Abdul Wahab Ahmad
15 Februari pukul 23.53 ·
#Abdul Wahab Ahmad