Dalam perjalanan kereta dari stasiun ke stasiun masih sama seperti ABI 2016. Barulah setelah beberapa stasiun jelang finish di Stasiun Tanah Abang kereta mulai padat dan sangat padat. Lebih padat dari ABI 2016. Boleh dibilang, gerbong dikuasai oleh seragam putih.
Setiba di stasiun Tanah Abang sekira pukul 8 lewat, seragam putih yang keluar dari tiap gerbong lebih banyak dibanding ABI 2016. Cuma bedanya, benderanya lebih sedikit. Sebelum keluar stasiun, sama seperti dulu, sebagian peserta menyempatkan sholat duha di muhsola stasiun.
Keluar stasiun, suasana mulai hingar bingar dengan kepadatan lalu lalang peserta reuni 212 campur suara kendaraan. Ada yang berbeda, kalau dulu seingat saya tidak ada parkir motor di sepanjang jalan Jati Baru. Kali ini, nampak deretan panjang motor yang diparkir. Jelang jalan raya samping BI baru terasa, keramaiannya kayanya sama dengan ABI 2016. Cuma ada yang mengabarkan, mau lewat jalan mana saja sama padatnya. Padahal sewaktu ABI 2016 walaupun sangat ramai tapi masih bisa jalan merayap.
Dan benar saja. Jelang perempatan BI, sudah tidak bisa lagi jalan. Seseorang mengingatkan, bagi yang bawa anak sebaiknya jangan memaksakan diri. Sudah banyak yang pingsan. Akhirnya banyak yang memutuskan beristirahat di samping pagar BI sambil membuka perbekalan makan dan minum, ada juga yang membeli jajanan. Boleh dibilang , pedagang makanan laris super manis. Jadilah trotoar samping BI menjadi semacam tempat rekreasi. Duduk santai sambil menyantap makanan. Ada pemandangan yang berbeda. Beberapa orang dewasa nampak dibopong karena pingsan. Mungkin dia memaksa merangsek ke depan BI..
Mendadak ada yang membuka lapak panggung orasi di perempatan jalan. Terdengar suara Kiwil berorasi. Dari kejauhan nampak Kiwil berdiri di atas mobil, berorasi dengan gaya khasnya. Selesai Kiwil berorasi, saya dan rombongan kecil memaksa bergerak ke jalan raya depan BI menuju patung kuda.
Hanya tinggal beberapa meter lagi tapi rasanya seperti mustahil akan sampai. Tidak bisa bergerak sama sekali. Masih ada satu dua orang yang pingsan. Padahal dulu saat ABI 2016, walaupun agak tersendat, masih bisa relatif mudah menuju ke arah yang sama.
Hanya dengan modal keyakinan akan sampai di jalan depan BI, akhirnya sampai juga. Tapi sayangnya, sebagain rombongan saya memilih kembali ke tempat tadi bersitirahat. Saya menunggu keadaan kondusif.
Setelah agak longgar, perjalanan dilanjutkan ke arah patung kuda. Lumayan lancar. Tapi hanya bisa menonton air mancur saja. Mungkin kalau saya sendirian, bisa saya paksakan masuk ke Monas. Diantara rombongan saya ada anak-anak. Udara memang benar-benar pengap oleh padatnya peserta aksi.
Padahal dulu saat ABI 2016 cuaca kurang lebih sama. Malah setelah panas terik, saat sholat jum’at berjamaah diguyur hujan, dan panas terik kembali. Tapi saya tidak melihat ada yang pingsan. Saya memang tidak bergerak ke arah lain, hanya bisa finish di patung kuda. Tapi dari pengapnya udara saya menduga, peserta Reuni 212 lebih banyak dibanding ABI 2016.
Seberapa banyak? Tentu saja saya tidak tahu. Kalau pun saya dapat kabar jumlahnya, saya lebih memilih bilang, sangat banyak. Gitu saja. Daripada ada yang panik, sakit hati, dan mencibir soal jumlah. Mending nggak nyebut jumlah. Kan saya cuma bergerak di sebagian kecil area saja.
Kembali ke stasiun Tanah Abang sekira pukul 12 siang. Buat masuk ke area parkir stasiun saja padatnya minta ampun. Padahal dulu, pulangnya tidak padat seperti ini.
O,ya tadi saya bicara soal peserta anak-anak. Memang cukup banyak yang membawa anak. Tentu saja banyak alasan membawa anak-anak. Tapi bagi saya, walaupun anak-anak belum paham mau apa dia diajak ke Reuni 212, setidaknya dia mendapatkan atmosfir 212. Seandainya Reuni ukhuwah ini diadakan setiap tahun, anak-anak itu akan terus menyerap atmosfir itu. Saat mereka mulai remaja, mereka mulai memahami maknanya. Mereka inilah yang nanti akan meneruskan ukhuwah yang diperingati setiap tahun.
Ukhuwah Islamiyah dari saudara sesama muslim dari berbagai daerah ini sayang kalau terputus di tengah jalan. Dalam konteks Reuni 212 saya nggak membedakan antara ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah bashariyah.
Ketiganya merupakan satu kesatuan. Kalau bilang ukhuwah Islamiyah harus dibarengi dengan kedua ukhuwah itu kan sama saja bilang bahwa Islam itu pasti intoleran. Sama dengan mengatakan, kalau menjalankan syariat Islam maka membenci “syariat” agama lain. Ketiga jenis ukhuwah itu hanya membedakan jenisnya saja. Seorang muslim disamping cinta agama sudah pasti cinta tanah air. Jangankan tanah air sendiri, tanah air negara lain yang dijajah saja dibela. Membenci penjajahan otomatis mencintai kemanusiaan.
Kenapa sejak pilpres 2014 masyarakat kita seperti terbelah? Karena mengabaikan ketiga jenis ukhuwah itu. Sekarang ini yang dikembangkan adalah ukhuwah kelompokiyah. Kalau bukan kelompok kami maka sudah pasti radikal, intoleran, anti NKRI, bla bla bla. Makanya jangan heran kalau ada yang membenci wisata ukuhuwah ini.
Catatan : Video ini hanya di area mulai Stasiun Tanah Abang sampai seputaran BI
Balya Nur
15 jam ·
#Balya Nur