Menimbang Hukum Nikah Siri

Menimbang Hukum Nikah Siri - Kajian Medina
MENIMBANG HUKUM NIKAH SIRI

Nikah siri (نكاح السر), menurut jumhur fuqaha (Syafi'iyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah) adalah akad nikah yang tidak dihadiri saksi. Jika ada dua saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, maka pernikahannya tidak disebut nikah siri. (Silakan baca: Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, bahasan "Nikah As-Sirr").

Nikah siri semacam ini tidak sah hukumnya, karena kehadiran saksi dalam akad nikah wajib adanya, dan tidak sah akad nikah tanpanya. Hal ini ditunjukkan oleh Hadits: "Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil." (HR. Al-Baihaqi, dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha. Adz-Dzahabi berkata: Isnadnya shahih).

Ini nikah siri menurut istilah para fuqaha.

Sedangkan nikah siri yang sering diperbincangkan di negeri kita, punya definisi yang berbeda. Nikah siri yang dimaksud adalah pernikahan yang tidak dicatat oleh negara, dalam hal ini KUA. Jadi, meski rukun nikahnya terpenuhi dan pasangan suami-istri tersebut sah menikah menurut agama Islam, namun karena pernikahannya tak tercatat oleh negara, pernikahannya disebut nikah siri. (Silakan baca: https://www.hukumonline.com/…/begini-repotnya-dampak-hukum-…, diakses tanggal 18 Desember 2018)

Dari sini, bisa kita katakan, nikah siri semacam ini sah menurut agama Islam, dan berlaku konsekuensi pernikahan, semisal kebolehan berhubungan badan, dan kewajiban nafkah dari suami kepada istri, dan lain-lain. Ia juga bukan zina, sehingga tak bisa dipidanakan sebagai perzinaan. (Silakan baca: https://nasional.kompas.com/…/rancangan-kuhp-nikah-siri-dan…, diakses tanggal 18 Desember 2018)

Hanya saja, meski ia sah menurut agama Islam, bukan berarti ia dianjurkan. Malah seharusnya, praktik pernikahan siri semacam ini harus dihentikan dan dicarikan solusi bagi yang telah melakukannya. Pernikahan seharusnya diumumkan, karena itu disyaratkan adanya dua saksi dalam akad nikah. Dan dianjurkan adanya walimatul 'urs, untuk menginformasikan adanya pernikahan tersebut ke khalayak ramai, sehingga potensi salah paham di masyarakat tidak ada.

Banyak potensi mafsadah yang dihasilkan oleh pernikahan yang tak dicatat oleh negara ini, terlebih jika pelaku pernikahannya sendiri sudah memiliki niat buruk sebelumnya. Contoh mafsadatnya:

1. Suami dan ayah dari pernikahan siri, bisa saja menelantarkan istri dan anaknya, dan ia tak bisa dituntut apa-apa, karena pernikahannya di bawah tangan, tak ada bukti legal tertulis yang menunjukkan ia benar-benar suami dan ayah dari mereka.

2. Potensi ketidakadilan dalam waris, terlebih jika ia punya dua keluarga atau lebih (poligami). Istri dan anak hasil nikah siri, sangat mungkin tidak mendapatkan hak warisnya. Mereka dianggap tidak ada, karena tak ada bukti tertulis yang menunjukkan bahwa mereka adalah ahli waris yang sah.

Solusi terhadap persoalan ini, seharusnya:

1. Jika nikah siri ini disebabkan karena pihak-pihak yang ada kesulitan memahami administrasi pencatatan resmi pernikahannya, atau faktanya mereka memang dipersulit untuk mengurus pencatatan pernikahannya, maka solusinya adalah pengurusan pencatatan pernikahan harus dipermudah, bahkan jika perlu, pihak KUA melakukan jemput bola, atau mendaftar keluarga di sekitar wilayahnya yang telah menikah namun belum mencatatkan pernikahannya, dan kemudian dibantu dan dipermudah pengurusannya.

2. Jika nikah siri dilakukan oleh orang kaya, pejabat, dan semisalnya, yang sebenarnya tak memiliki kesulitan untuk mendaftarkan pernikahannya secara resmi, namun ia sengaja tak mendaftarkannya, karena ia ingin terhindar dari konsekuensi pernikahan yang resmi, maka ini adalah kezaliman. Pelaku kezaliman seperti ini layak dihukum. Bukan karena ia disamakan dengan pezina, tapi karena ia telah berlaku zalim terhadap istri siri-nya dan anak-anaknya nanti. Hukumannya, jika pakai literatur fiqih klasik, terkategori ta'zir.

Wallahu a'lam.

~ Muhammad Abduh Negara ~

Muhammad Abduh Negara II
Kemarin pukul 08.07 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.