Saya dulu menulis novel “Hafalan Shalat Delisa”. Novel ini punya setting islami. Kental sekali, judulnya saja pakai kata “shalat”, ceritanya tentang anak kecil menghafal bacaan shalat. Ketika saya kirim naskah ini ke penerbit, maka saya tahu diri, ada penerbit yang tidak bersedia menerbitkannya karena tidak cocok dengan “policy” mereka. Lantas apakah saya marah? Ngamuk? Tidak terima? Karena naskah saya ditolak gara2 itu? Padahal novel ini bagus sekali (ehem, muji diri sendiri). Mosok gara2 isinya islami ditolak begitu saja, itu jelas “diskriminatif”? Apakah saya marah? Lantas saya viral-kan?
Tentu tidak.
Adalah hak semua penerbit untuk punya “policy” masing2. Ada penerbit islami, mereka khusus menerbitkan buku2 islami. Ada penerbit agama lain, mereka hanya menerbitkan buku2 agamanya. Ada penerbit universal, mereka tidak tertarik menerbitkan buku2 dengan nuansa agama--apapun agamanya. Ada penerbit Trubus, mereka tidak akan menerbitkan novel, kecuali jika novel itu tentang melihara kambing, atau menanam cabai, mungkin saja mau--tapi rasa2nya tidak.
Saya mendadak membahas novel Hafalan Shalat Delisa ini, karena kasus yang menarik. Sebab ada toko kue, lantas ada yang mesan kue, minta dituliskan sesuatu kalimat di sana, yang menurut pemilik toko kue itu tidak cocok dengan “policy” mereka, lantas mereka tolak. Apakah ini serius? Tidak. Ini adalah hal biasa saja. Saya tidak paham di mana poin yang harus diributkan? Aduh, jika kita tidak cocok dengan “policy” toko kue itu, maka tentu ada toko2 kue lainnya, belilah kue di toko2 tersebut yang mau. Bukan malah merajuk, diviralkan. Kalian tentu tahu kasus toko kue ini tentang apa, ini tentang: ucapan selamat natal.
Adalah fakta, sebagian umat Islam meyakini: mengucapkan selamat natal, pun selamat2 hari raya lainnya, adalah terlarang. Kenapa? Kita tidak perlu membahasnya lebih detail, tidak semua dari kita punya ilmu memadai soal ini. Tapi yang paling penting bukan kenapanya, melainkan: mereka meyakini untuk tidak mau. Lantas apa sikap terbaiknya? Hargai keyakinan mereka. Bukan malah kemana2 membahasnya. Ayolah, hanya karena ada orang yang tidak mau mengucapkan selamat hari raya agama lain, bukan berarti dia jadi jahat, radikal dan teroris. Banyak loh yang tidak pernah mengucapkan selamat hari raya agama lain, tapi dia bertetangga dengan baik, saling tolong menolong, saling silaturahmi, saling bertamu, sungguh menjadi tetangga yang amat toleran apapun latar agamanya. Justeru jika kita nge-judge orang2 ini radikal, kitalah yang radikal lebih dulu. Saat kita nge-judge mereka intoleran, kitalah yang intoleran lebih dahulu.
Pun sebaliknya, jika ada sebagian umat Islam yang meyakini: mengucapkan selamat natal adalah boleh, juga selamat2 hari raya lainnya, kita tidak perlu bergegas menuduh dia ini, itu. Menilai dia sudah rusak akidahnya, menilai dia sesat, dll. Boleh jadi dia punya penjelasan, boleh jadi dia punya prinsip yang berbeda. Jika kita yakin itu memang terlarang, nasihati dengan lemah lembut, bukan langsung bilang: “kamu besok masuk neraka”.
Saya, dalam posisi dan memilih: tidak mengucapkan selamat hari raya agama lain di page ini--apapun agamanya. Lah, selamat lebaran saja saya jarang ucapkan di page ini (kecuali ke keluarga, teman2, secara terbatas). Saya juga tidak mengucapkan selamat tahun baru masehi, lah, selamat tahun baru hijriyah saja super jarang pula saya ucapkan di page ini. Bagi saya, ucapan itu adalah personal, bukan di medsos. Kalau saya mau mengucapkan selamat di page ini: maka isinya selamat liburan. Itu saja. Selesai. Apakah saya jadi teroris? Radikal? Aduh, kalian benar2 tidak pernah membaca novel2 saya. 28 buku tersebut, banyak sekali yang isinya adalah karakter2 antar bangsa, antar negara, antar agama, dan mereka rukun, saling menghargai. Buku saya “Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah”, bahkan dirilis penerbitnya saat Imlek. Bukan berarti sy merayakan Imlek, tapi momennya cocok dengan setting novel tersebut.
Ingatlah selalu, toleransi itu dilihat di dunia nyata. Bagaimana kita bertetangga, bagaimana kita berteman, bagaimana kita bergaul. Itu toleransi. Jangan sebaliknya, berisik sekali di medsos soal toleransi, nge-judge ini radikal, itu intoleran, tapi hei, tetangga sebelah saja kita tidak tahu. Situ serius? Jangan2 kitalah yang amat sangat tidak toleran tersebut.
Semoga kalian tumbuh dengan pemahaman baik dalam setiap aspek kehidupan. Hanya karena orang lain memiliki prinsip dan keyakinan yang berbeda dengan kita, bukan berarti kita berhak mem-bully, me-maki, meng-hinanya. Boleh jadi, kitalah yang tidak siap dengan perbedaan, untuk secara simultan: kita ceramah tentang perbedaan.
*Tere Liye
Tere Liye
24 Desember 2017 ·
#Tere Liye