Kerancuan Akidah Wahabi, Sebuah Buku yang Seharusnya Terbit Sejak Lama!
Buku ini memiliki tiga pembabakan, dengan “Bagian Ketiga: Simulasi Dialog dengan Salafi-Wahabi Berkemampuan Tinggi” sebagai episode favorit yang paling saya sukai di antara lembaran yang berjumlah sekitar 250 halaman tersebut. Sebab, saya merasa dibawa menengok ke sudut terjauh tentang jidal paling akbar antara pemuka Asy`ariyyah dengan para tokoh Salafi-Wahabi. Visualisasi dialektika ini tampak benar-benar nyata, dengan sumber-sumber primer yang banyak belum saya ketahui—karena saya memang amatir dalam mempelajari pandangan para pemuka kelompok yang menganggap golongannya paling salaf itu. Perasaan seperti ini mirip sekali dengan membaca Tahafut al-Falasifah milik Imam al-Ghazali, sebuah buku yang merekam Imam Ghazali muda saat memasuki dunia persilatan gagasan filosofis sebagai mahasantri yang kritis, bukan berstatus pendakwa yang menghakimi:
أنا لا أدخل فى الاعتراض عليهم الا دخول مطالب منكر, لا دخول مدع مثبت
Baiklah, kembali ke karya KH. Abdul Wahab Ahmad . Buku yang kelahirannya dibidani oleh peristiwa kritik penulisnya terhadap sebuah ensiklopedi (mausu’ah) seorang peneliti Salafi-Wahabi bernama Muhammad bin Abdurrahman al-Maghrawi itu, berujung adu hujjah dengan seorang simpatisan Salafi-Wahabi di sudut komentar dalam situs pribadi beliau. Hingga diskusi itu mengungkap keyakinan mereka, entah disadari atau tidak, bahwa Allah merupakan fisik, tak ubahnya dengan akidah keliru para antropomorfis (mujassimah). Penulis yang pernah menjabat sebagai Direktur Aswaja NU Center itu pun memungut hal muhim dari puing-puing diskusi yang sudah dipastikan kebenaran berpihak ke akidah Ahlussunnah wal Jamaah, diramu dengan bahasa yang lebih dari sekedar ‘ala kadarnya’, untuk sejurus kemudian disajikan sebagai buku siap santap bagi penikmat kebenaran.
Salah satu hal yang saya suka adalah cerita beliau, “Salafi-Wahabi yang berdebat dengan penulis tergolong berkemampuan rata-rata, dan masih banyak syubhat mereka dalam masalah akidah yang belum dibahas, sehingga penulis menambahi satu bab lagi dalam buku ini yang berisi simulasi perdebatan dengan Salafi-Wahabi berkemampuan atas, semisal Ibn Utsaimin, Safar Hawali dan lain-lain.”
Dan benar saja, bab tambahan tersebut semacam “epic moment” di film anime—semisal kemunculan Monkey D Luffy di pulau Sabaody setelah dua tahun nyantri di bawah asuhan Silvers Raylegh di Rusukaina, pulau dengan 48 jenis musim; momen tersebut benar-benar sulit untuk tidak dilirik saat keluar di beranda Youtube. Nah, demikian lah dengan bagian ketiga buku ini, suguhan kritik tajam, jual-beli serangan argumen melalui dalil naqlidan aqli, merupakan sederet sajian yang dapat dinikmati dalam bagian ini. Hampir saja saya ingin memparafrasekan tiap sub judul di bagian akhir ini, jika tidak dihalangi oleh rasa malas yang lebih rajin hadir daripada niat baik tersebut.
Secara umum, bagi saya, buku ini menunjukkan tentang sisi proporsional (tawazun) akidah Ahlussunnah wal Jamaah: dibangun berdasar al-Quran dan hadits, tanpa mengabaikan prinsip rasional untuk menetapkannya. Jadi, bila didapati sebagian filsuf menganggap akidah Asy`ariyyah hanya “ajaran doktrinal” semata, sementara para Salafi-Wahabi menganggapnya sebagai “permikiran filsafat”, hal itu tak lain karena akidah Asy`ariyyah memang berada “di tengah”, jalur paling tepat dan benar, yang jauh dari bentuk ekstrim pengusung kebenaran akal, maupun mereka yang terlalu tekstual!
Wallahu a’lam.
#sesederhanaitu😉
Ach Khoiron Nafis
10 Desember 2020 pada 11.53 ·