Menyikapi Perbedaan Pendapat Dalam Ilmu Tajwid

Menyikapi Perbedaan Pendapat Dalam Ilmu Tajwid - Kajian Medina
MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ILMU TAJWID

Apabila kita berkesempatan untuk belajar kepada beberapa orang Asatidzah atau Masyayikh, maka seringkali kita menemukan adanya sedikit perbedaan dalam permasalahan kesempurnaan kefasihan bacaan. Walaupun secara teori sama, namun penerapan dan pengamalannya ternyata tidak mesti selalu sama persis.

Hal tersebut kadang membuat sebagian pembelajar bingung dan bertanya-tanya. Sampai-sampai di antara mereka ada yang begitu penasarannya, kemudian bertanya dengan bentuk pertanyaan yang -mungkin- tidak lazim, seperti: "sebetulnya bagaimana pengucapan Kaf dan Ta yang bersanad itu?" Atau: "sebetulnya bagaimana bacaan huruf tarqiq yang sesuai Nabi?"

Saudaraku dan sahabatku sekalian, ketahuilah bahwa Nabi merupakan satu-satunya manusia yang 100% fasih dalam membaca Alquran, namun tidak ada satupun manusia yang hidup di zaman sekarang yang pernah menjumpai Nabi dan bertalaqqi dengan beliau. Sehingga tidak ada yang bisa memastikan bagaimana bacaan Nabi.

Kemudian, saat Nabi mengajarkan kepada para Sahabat, para Sahabat mengajarkan pada para tabiin, dan tabiin mengajarkan kepada generasi setelahnya, tidak menutup kemungkinan kualitas kefasihan tersebut mengalami pengurangan. Makanya para ulama kemudian membuat dhawabith (kaidah dan batasan-batasan) agar kefasihan tersebut tetap terjaga dan selalu berada di atas batas minimal. Namun, untuk memastikan bahwa bacaan seseorang itu sama persis dengan bacaan Nabi, hal tersebut dapat dikatakan mustahil untuk dilakukan.

Adapun sanad dan jalur-jalur periwayatan berfungsi untuk meminimalisir penyimpangan dari sisi praktik. Jadi, dari sisi teori kita dijaga dengan kaidah dan dhawabith, sedangkan dari sisi praktik kita dijaga dengan sanad dan jalur-jalur periwayatan.

Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa kadang ada seorang guru yang keras, ada yang lunak, ada yang sedang dalam mengoreksi. Bisa jadi juga karena usia yang sudah senja, seorang guru menjadi kurang teliti dalam mengoreksi. Sehingga manakala seseorang mendapatkan ijazah, bisa jadi bacaannya belum benar-benar istimewa atau baru mencapai batas minimal kefasihan, atau bahkan bisa jadi ada di antara mereka yang mendapatkan ijazah dengan kondisi bacaan yang belum konsisten. Hal tersebut mungkin terjadi disebabkan waktu yang tersedia sangat singkat sehingga guru dan murid ini agak tergesa dalam mengkhatamkan Alquran, atau disebabkan guru yang sedang sakit-sakitan atau juga waktu talaqqi yang sangaaaaat panjang namun belum ada perubahan yang signifikan dari si murid, sehingga guru memberikan ijazah sebagai bentuk kemurahan hatinya dan pemicu semangat si murid, dengan syarat si murid tetap belajar, namun belum tuntas semua pelajaran itu sang guru ternyata telah mendahuluinya bertemu Allaah Azza wa Jalla.

Artinya, berbagai kemungkinan bisa terjadi yang menjadi sebab berubahnya kualitas bacaan Alquran dari generasi ke generasi. Sehingga pada generasi berikutnya, perbedaan pendapat dan pengamalannya juga tidak bisa dihindarkan. Makanya, dunia Alquran kontemporer juga sempat terbagi menjadi dua madzhab: Syamiy dan Mishriy. Walaupun keduanya sekarang kelihatannya sudah saling bercampur satu dengan yang lain.

Maka dari itu, saat kita menemukan perbedaan pendapat di antara guru-guru kita maka hal yang pertama kali kita lakukan adalah: wajib husnuzhan dan tidak kagetan. Selama guru kita atau orang yang menyampaikan pendapat tersebut memiliki sandaran yang jelas lagi shahih maka tidak bisa dengan serta merta kita tolak pendapatnya.

Terkecuali, apabila pendapat tersebut nyata-nyata telah jelas bertentangan dengan kaidah atau dhawabith yang disepakati para ulama Qiraat. Maka, kita bisa menolak pendapat tersebut, bahkan boleh membantahnya dengan cara terbaik dan kalimat-kalimat yang santun yang tidak akan menyakiti guru kita. Itu semua apabila kita yakin bahwa pendapat tersebut benar-benar nyata bertentangan dengan kaidah yang telah disepakati. Apabila kita sendiri tidak tahu mana kaidah-kaidah yang telah disepakati, maka artinya kita butuh lebih banyak belajar dan jadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai khazanah dan perluasan wawasan keilmuan kita.

Adapun mana kemudian pendapat yang diamalkan dari sekian perbedaan pendapat yang ada ini?

Amalkanlah sesuai dengan guru yang kita sedang rutin bertalaqqi dan mulazamah padanya. Mengikuti riwayat dari Musnad Ahmad bahwa Nabi bersabda:
اقرءو كما علمتم
Bacalah oleh kalian Alquran sebagaimana kalian diajarkan. (Hadits ini memiliki beberapa syawahid di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Al-Ajurriy dan Ath-Thabariy)

Inilah pentingnya kita memiliki guru yang tetap dalam ilmu Alquran. Serta usahakan tidak mudah-mudah untuk berpindah guru sebelum menuntaskan pembelajaran. Dan tuntasnya pembelajaran Alquran adalah manakala kita telah membaca dari awal bismillaahirrahmanirrahim sampai akhir minal jinnati wannaas di hadapan guru kita baik dengan hafalan atau dengan bacaan.

Apabila telah tuntas minimal satu kali, maka kita bisa berpindah ke guru yang lain untuk membaca riwayat yang sama atau membaca riwayat yang lain pada guru yang sama.

Jangan bosan untuk mengulang-ulang pembelajaran pada guru yang sama. Al-Imam Qalun bermulazamah kepada Al-Imam Nafi selama kurang lebih 20 tahun dan saat muridnya bertanya padanya berapa lama ia mengkhatamkan Alquran pada Al-Imam Nafi, maka beliau menjawab tidak tahu karena terlalu banyaknya Alquran yang ia khatamkan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Al-Imam Hafsh saat bermulazamah dengan Al-Imam 'Ashim. Demikianlah cara belajar generasi Salaf.

Mereka fokus belajar pada satu guru untuk satu cabang ilmu. Kalaupun memiliki beberapa guru, maka hal tersebut tidak membuat mereka saling membentur-benturkan pendapat satu guru dengan guru yang lain. Semua pendapat diakomodir dan diterima dengan lapang dada selama tidak bertentangan dengan kesepakatan para Ulama.

Adapun saat kita telah mampu untuk melakukan penelitian dan mencari pendapat yang lebih kuat untuk diamalkan, maka silakan lakukan. Kemudian amalkan pendapat yang kita nilai lebih kuat itu tanpa merendahkan atau mencela pendapat yang kita anggap lemah. Barakallaahu fiikum.

Wallaahu a'lam.

- Laili Al-Fadhli -

https://youtu.be/yQpHnT65L2A

Laili Al-Fadhli
22 Agustus pukul 05.37 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.