by. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Di tahun 80-an dan 90-an, kalau denger anak SMA dan mahasiswa pada ikut pengajian di sekolah atau di kampus, kita pasti senang dan bahagia.
Entah kenapa di era sekarang justru saya malah khawatir mendengarnya. Setidaknya jadi lebih kritis. Suka saya tanya rada menyelidiki gitu. Pengajian apa? Belajar apa? Dimana? Siapa yang ngajar? Kitabnya apa?
Bukan apa-apa. Di zaman kayak gini, siapa saja bisa ngaku-ngaku jadi ustadz, lalu ngisi kajian. Padahal yang disampaikannya hal-hal yang bermasalah.
Sebagai orang tua, kita jadi dituntut untuk lebih kritis dan waspada. Ada begitu banyak aliran, paham, ideologi dan agenda politik yang disusupkan dalam wadah pengajian.
Merknya pengajian, begitu dibuka, ternyata isinya pengkaderan kelompok tertentu. Isinya ternyata rekruitment.
Kasihan anak-anak itu. Niatnya tulus mau belajar agama, ujung-ujungnya cuma jadi aset gerakan tertentu.
Cirinya mudah sekali untuk dikenali, misalnya kalau murid pengajiannya jadi rada fanatik membela-bela kelompoknya secara membabi buta, mudah menyalah-nyalahkan banyak orang, dan merasa paling islami, paling berdakwah, paling berjuang dan seterusnya.
Segera hubungi dokter . . .
Ahmad Sarwat
14 Juli pukul 20.56 ·
#Ahmad Sarwat