Salah satu penyakit lama saya adalah malas nulis dalil di medsos. Kadang giat dan kadang malas lagi, dan lebih sering malas. Lihat saja kebanyakan tulisan terbaru saya soal akidah, fikih atau tasawuf jarang sekali mencantumkan dalil meskipun topiknya tentang sesuatu yang jadi polemik. Paling banter 1-2 kutipan, itupun jarang. Yang ada poin-poin kesimpulan saja. Tapi meski demikian kawan-kawan saya tetap saja suka dan ngelike bahkan ngeshare. Kenapa begitu? Jawabannya karena mereka percaya saya. Meski tak mengutip dalil sekalipun, mereka percaya yang saya tulis ada dasarnya.
Yang seperti ini bukan hanya terjadi pada saya, tapi pada semua orang lain. Pernah lihat ust sebelah yang tanpa dalil tiba-tiba menyatakan bahwa menurut pendapat yang terkuat wudhu itu hanya wajah dan tangan seperti tayammum? Meski ucapannya ngawur, tapi saya yakin penggemarnya akan manggut-manggut saja sebab sudah percaya ke yang bersangkutan.
Demikian pula ketika ada seorang ahli tafsir Indonesia yang mengatakan bahwa batasan aurat wanita itu asalkan sopan menurut adat sehingga yang boleh terlihat tak terbatas pada wajah dan telapak tangan saja. Meski pendapat ini syadz (nyleneh dan tak berdasar kuat), tapi tetap saja para pengikut beliau menjadikannya sebagai hujjah sebab sudah terlanjur percaya pada sosoknya yang diyakini takkan mengatakan sesuatu yang tak berdasar.
Modal percaya inilah yang juga terjadi di dunia mazhab. Banyak pelajar fikih pemula yang menganggap remeh kitab-kitab mazhab yang beredar di kalangan umum. Mereka bilang bahwa kitab-kitab itu sepi dalil, hanya qaul ulama saja, bukan dalil dari al-Qur’an dan hadis. Mereka tak tahu bahwa kitab-kitab fikih yang beredar di kalangan umum itu adalah kitab-kitab ringkasan yang memang tak mencantumkan dalil. Tapi karena yang menulis bukan orang sembarangan melainkan ulama bereputasi internasional, maka qaul (pendapat) mereka justru bisa menjadi dalil bagi orang awam sebab qaul mereka tak mungkin tak berdasar.
Tentu saja, level para pengarang kitab-kitab fikih mazhab yang dipelajari di pesantren itu bukan level kelas teri macam saya ini. Meskipun mereka tak menulis dalil di kitabnya, tapi bukan berarti tak ada dalilnya. Dalilnya bisa dilihat di kitab-kitab besar berjilid-jilid atau kitab-kitab yang khusus membahas satu masalah spesifik.
Nah di sinilah bedanya modal percaya ke ulama yang muktabar (kredibel) dan modal percaya ke selain mereka. Sama-sama modal percaya tapi bedanya jauh. Yang seperti saya percaya pada ulama mazhab sehingga apa yang saya tulis biasanya merujuk pada pendapat mereka. Pembaca tulisan saya juga modal percaya pada saya, meski secara teori bisa saja saya ngarang. Hehe..
Ada juga yang modal percaya pada ustadznya yang mengaku berijtihad langsung dari al-Qur’an dan hadis. Hmmm.... yang begini ini yang biasanya bermasalah sebab kemampuan sang ustadz untuk berijtihad tak muktabar. Hanya modal percaya dari murid-muridnya yang awam yang membuatnya punya pengikut.
Lalu bagaimana cara orang awam menilai dan menakar keilmuan seorang guru agar tak hanya modal percaya pada orang yang salah? Nah ini yang repot. Orang awam tak bisa memberi penilaian. Kalau pun memberi penilaian, maka kualitas penilaiannya biasanya tak valid sebab dia awam. Lihat misalnya sebagian orang awam menganggap tukang caci-maki sebagai sosok Waliyullah yang bijak dan tegas. Yah namanya juga awam mau bagaimana lagi. Kalau bisa memberi penilaian bermutu namanya bukan awam lagi.
Lalu apa yang harus dilakukan kalau begitu? Berdoa meminta hidayah pada Allah supaya ditunjukkan jalan yang benar. Selain itu jangan fanatik buta pada siapapun selain pada Rasulullah. Buka pikiran akan pemahaman-pemahaman baru dan jangan ragu untuk bertanya hingga detail bila memang tak paham. InsyaAllah cara ini membantu agar tak hanya modal percaya.
Abdul Wahab Ahmad
9 Maret pukul 22.53 ·
#Abdul Wahab Ahmad