Beberapa tahun lalu, di salah satu grup WA belajar fiqih yang saya kelola, saya membagikan tulisan salah seorang ustadz yang punya latar belakang pendidikan formal teknik kimia, tentang hukum alkohol. Kesimpulan dari tulisan tersebut, beliau menguatkan pendapat bahwa alkohol itu bukan khamr, sehingga hukum khamr tidak berlaku untuk alkohol. Dalam tulisan tersebut disimpulkan alkohol itu halal dan suci.
Saya membagikan tulisan itu, sekadar untuk menunjukkan bahwa ada perbedaan pandangan ulama tentang hakikat alkohol dan khamr, apakah alkohol adalah khamr itu sendiri, sehingga semua zat yang mengandung alkohol baik dalam minuman yang memabukkan maupun bukan, terkena hukum khamr. Atau ia berbeda, sehingga hukum khamr tak otomatis bisa diberikan pada alkohol.
Saya bagikan sekadar untuk meluaskan pandangan orang-orang yang ikut di grup belajar fiqih saya tersebut. Karena saya sudah lama menyoroti banyak orang-orang yang baru ngaji, itu cenderung keras pada perkara-perkara khilafiyyah, karena pandangannya terlalu sempit.
Ternyata ada satu anggota grup yang tidak bisa menerima tulisan ustadz tersebut, bahkan ungkapannya menunjukkan ia sedang marah. Menurut dia, alkohol itu adalah khamr, sebagaimana yang ia dapatkan dari fatwa ustadz kelompoknya. Baginya itulah kebenaran mutlak. Tak boleh ada pendapat lain.
Ia juga menyatakan bahwa bahasan alkohol itu harusnya ditanyakan ke ahli fiqih, bukan orang yang bergelut di bidang kimia. Saya tanggapi ini, bahwa ustadz yang saya bagikan tulisannya tersebut, meski pendidikan formalnya kimia (dan itu sebenarnya cocok dengan bahasan, karena kita perlu tahu hakikat alkohol itu, dan itu wilayahnya orang-orang kimia), ia juga bertalaqqi dengan beberapa masyayikh Saudi saat kuliah S2 kimia di sana. Juga, sang ustadz tidak berfatwa sendiri, ia membawakan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dan ulama lainnya.
Anggota grup saya ini tetap tak bisa menerima dan bersikeras bahwa yang dipahaminya selama inilah, kebenaran mutlak. Ia lalu memilih keluar dari grup.
Persoalan keluar dari grup, itu sebenarnya tak masalah sama sekali bagi saya. Yang ingin terus belajar, silakan bertahan. Yang sudah tak berkenan lagi, tak apa-apa keluar. Biasa saja hal ini. Namun yang saya sayangkan, sikap “keras kepala” dalam memandang persoalan fiqhiyyah ini yang bermasalah.
Saat membagikan tulisan tersebut, saya tak sedang melakukan tarjih, bahwa pendapat yang rajih adalah yang ini, bukan yang itu. Tidak sama sekali. Saya hanya ingin, orang terbuka wawasannya, menjadi luas pandangannya dan bisa berlapang dada pada perkara khilafiyyah. Namun sayangnya disikapi dengan keliru.
Mungkin ia berpikir, yang mengerti fiqih hanya ustadz dari kelompoknya saja. Sedangkan yang lain, tidak punya kemampuan untuk itu. Padahal, kalau mau membandingkan… (ah sudahlah).
Hal-hal seperti inilah yang saya kritik keras sejak lama. Kejahilan terhadap fiqih Islam ditambah fanatisme buta terhadap kelompok, sekaligus tidak tahu kadar diri sendiri dan kadar orang lain, menyebabkan lahirnya sikap-sikap seperti ini. Ia berpikir sedang berdiri di atas kebenaran, padahal hakikatnya sedang menutup diri dari kebenaran.
Orang-orang seperti ini yang kadang sikapnya terbolak-balik dari yang seharusnya. Tidak toleran terhadap perkara khilafiyyah ijtihadiyyah yang mu’tabar, sekaligus mudah saja menabrak ijma’ atau kesepakatan mayoritas ulama, saat pendapat mereka bertentangan dengan pendapat kelompoknya.
Semoga Allah ta’ala memberikan kita petunjuk pada jalan yang lurus, sekaligus melembutkan hati kita, sehingga kita bersedia menerima kebenaran dari manapun datangnya.
~ Muhammad Abduh Negara ~
Muhammad Abduh Negara II
11 Desember pukul 11.53 ·
#Muhammad Abduh Negara II