Perbedaan 'irob terkadang menyebabkan perbedaan pendapat para ulama. Salah satu contohnya adalah hadits :
ذكاة الجنين ذكاة أمه
"Sebelihan janin (hewan) itu adalah sembelihan induknya" (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya)
Kata "Dzakaat" pada kalimat (ذكاة أمه) diatas dapat di'irob rafa' atau nashab.
Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan pendapat para ulama yang saling bertolak belakang. Penjelasannya dapat kita dapatkan dalam kitab Nailul Authar sebagai berikut:
( ذكاة الجنين ذكاة أمه ) مرفوعا بالابتداء والخبر ، والمراد الإخبار عن ذكاة الجنين بأنها ذكاة أمه فيحل بها كما تحل الأم بها ولا يحتاج إلى تذكية
"Sembelihan janin adalah sembelihan induknya" Keduanya dibaca marfu' sebagai Mubtada dan Khabar. Dan maknanya adalah pengkabaran bahwa sembelihan janin cukup dengan sembelihan induknya. Maka halal memakannya sebagaimana kehalalan sembelihan induknya dan janin tersebut tidak perlu disembelih." Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafii, Ats-Tsauri dan lainnya.
Kemudian saat menjelaskan pendapat Abu Hanifah yang menilai bahwa sembelihan induknya saja tidak cukup, janin perlu disembelih kembali seperti induknya. Dalam Nailul Authar dijelaskan :
فقالوا : المراد ذكاة الجنين كذكاة أمه . ورد بأنه لو كان المعنى على ذلك لكان منصوبا بنزع الخافض
"Mereka mengatakan bahwa maksud hadits tersebut yaitu menyembelih janin sama seperti menyembelih induknya. Seandainya maknanya demikian, maka kata "Dzakaat" dalam hadits tersebut hukum'irabnya manshub karena adanya huruf khafadh (jaar) yang dibuang".
Kesimpulannya, Ternyata dhamah dan Fathahlah yang membedakan maknanya.
Akhir kata, mari terus bersemangat ngobrolin 'irob ya sob. Kemahiran bahasa arab bagai bahtera yang akan terus membawamu pada samudra ilmu yang teramat luas nan dalam.
Irham Maulana
Kemarin pukul 01.07
#Irham Maulana