Cucu penakluk Konstatinopel Muhammad Al-Fatih yang menghabiskan waktunya di atas kuda mengembalikan Negara-Negara Islam yang direbut Pasukan Salib dan dari pasukan Syiah Safawiyah dikala kepemimpinan bapaknya Sultan Bayazid sedang lemah.
Keadaan genting ini diperparah oleh kerjasama Daulah Safawiyah yang berhaluan Syiah yang dipimpin Ismail as Safawi dengan kerajaan Kristen dan Alfonso de Albuquerque pemimpin pasukan laut Portugal untuk menghilangkan Daulah Utsmaniyah dari peta dunia setelah jatuhnya Islam di Andalusia dan rencana jahat mereka untuk menggali makam Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
Tahun 913 H/1507 M Ismail As Safawi menginvasi kerajaan kecil Dzil Qadariyah yang ada dibawah Turki Utsmani karena ketamakannya dan dendam karena lamarannya untuk putri Raja Dzil Qadariyah Bozkort Beik ditolak. Di kota itu Ia menghancurkan kuburan ulama-ulama Sunni dan membakar sisa tulang belulangnya.
Kemarahan Salim I memuncak ketika mengetahui kejahatan Ismail As Safawi itu. Ia menyiapkan 100.000 tentara yang langsung ia pimpin sendiri ditemani anaknya yang masih berusia 12 tahun Sulaiman Al-Qanuni menuju ibu kota Daulah safawiyah Tabriz, meskipun tanpa restu dari bapaknya Sultan Bayazid dan penasihat istana.
Penyebabnya kehawatiran Sultan Bayazid akan jarak yang jauh, matahari yang terik, dan musuh yang penuh tipu muslihat. Namun Sultan Salim muda tidak bergeming, ia berangkat dengan pasukannya.
Mengetahui Pasukan Turki Utsmani telah bergerak dengan 100.000 tentaranya, Ismail As Safawi –seperti karakter penganut Safawi licik– membakar pepohonan yang menyediakan bahan makanan yang tumbuh di sepanjang jalan yang dilalui pasukan Sultan Salim I agar pasukan muslimin kelelahan dan kelaparan sebelum perang. Mereka lalu melakukan manuver-manuver lainnya dari berbagai arah mengulur waktu untuk menghabiskan energi pasukan Islam.
Maka tepat pada tanggal 2 Rajab 920 H/23 Agustus 1514 M. Sekali lagi ingat baik-baik tanggal dan tahun ini. Inilah peristiwa Perang Chaldiran (Battle of Chaldiran), peperangan pasukan Muslimin dengan pasukan Syiah Safawiyah.
Peperangan yang tidak seimbang ini demenangi oleh pasukan Sultan Salim I, pasukan Syiah Safawiyah terdesak, tercerai-berai, dan melarikan diri, termasuk pemimpin mereka Ismail as Safawi, setelah kaki dan tangannya terluka ia mengganti baju dengan pakaian tentaranya untuk mengelabui pasukan muslim sehingga selamat dari kematian.
Dengan lantunan takbir, lembah Chaldiran menjadi saksi sujud syukur Sultan Salim I atas pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala.
Belum basah darah yang menempel di pakaian pasukan Muslimin , mereka melanjutkan perjalanan ke Kota Tabriz yang merupakan Ibu Kota Daulah Safawiyah dimana Ismail as Safawi melarikan diri kesana. Begitulah karakter Sultan Salim I yang tak kenal kata “lelah” dalam kamus hidupnya.
Amanah memimpin kaum Muslimin selama 9 tahun ia habiskan diatas kuda menyelamatkan Negara-Negara Islam yang terjajah baik oleh Syiah atau pasukan Kristen dengan membawa putra mahkota yang masih belia usia 12 tahun yang nantinya mewarisi tahta selama 46 tahun dengan segudang jasanya untuk umat Islam.
Mengetahui kedatangan pasukan Sultan Salim I, Ismail As Safawi melarikan diri karena takut kepalanya dipenggal meninggalkan istri- istri dan anak-anaknya di belakangnya. Bersembunyi di sebuah kota bernama Khoy.
Tepat hari Jum’at, 8 Tajab tahun 920 H, pasukan Muslimin menguasai Kota Tabriz. Adzan dilantunkan dan sholat Jum’at pertama kali dilaksanakan setelah Syiah menghapus ritual wajib itu dari masyarakat Sunni di sana.
Setelah itu beliau tidak pernah istirahat, selalu ada di atas kudanya selama sembilan tahun dari satu perang ke perang lainnya untuk menyatuka kembali negeri- negeri Islam yang tercerai berai dan dari rencana busuk kaum Safawiyah yang bekerja sama dengan pasukan Kristen Eropa untuk menggali dan memindahkan makam Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Tidak heran jika sejarawan menyebutnya sebagai pemberani (the Grim) dan penyelamat Daulah Usmaniyah.
Ustadz Fahmi Salim bersama Fahmi Salim.
6 Agustus ·
#Ustadz Fahmi Salim