Bid’ah Hasanah

Bid’ah Hasanah - Kajian Medina
Bid’ah Hasanah

Bermunculannya bid’ah yang sayyi’ah sama sekali tidak ada hubungannya dengan pendapat dan fatwa para Ulama mengenai pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah.

Karena para Ulama yang membagi bid’ah menjadi dua punya pakem tersendiri dan tidak dengan serta merta menganggap seluruh bid’ah menjadi hasanah. Ia mesti ditimbang dengan dalil-dalil syar’i. Apakah nanti hasilnya justru lebih sesuai dengan dalil-dalil syar’i atau bertentangan dengannya.

Hal tersebut tidak banyak diketahui atau tidak mau diketahui oleh sebagian kalangan, sehingga lebih banyak beemunculan vonis-vonis negatif atas istilah “bid’ah hasanah”.

Mesti tidak mengakui adanya literatur “bid’ah hasanah”, Al-Imam Asy-Syathibi nyatanya tetap mengakui keabsahan “mashalih mursalah” yang memiliki irisan dengan bid’ah hasanah, bahkan sebagian kalangan menganggapnya khilaf lafzhi.

Begitupun, kalangan yang menganggap “semua bid’ah adalah sesat”, tetap tidak memaknai kata “kullu” menjadi sesuatu yang ‘aam (umum), karena pada akhirnya bid’ah tersebut di takhsis (dikhususkan) ke dalam “perkara agama”. Sedangkan sebagian lagi membagi bid’ah menjadi “bid’ah dalam makna syar’i” dan “bid’ah dalam makna bahasa”. Walaupun pembagian-pembagian seperti itu sebetulnya akan menimbulkan beberapa polemik pro kontra juga, sama halnya dengan kritik yang mereka ajukan kepada pihak yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah, disebabkan standarnya yang masih debatable.

Buktinya, saat Umar bin Al-Khathab menyatakan tarawih berjamaah selama Ramadhan adalah bid’ah, maka mereka yang tidak sepakat dengan istilah bid’ah hasanah menyebut bid’ah tarawih sebagai bid’ah lughatan (dari sisi bahasa), namun saat Abu Malik Al-Asyja’i mendengar ayahnya berkata bahwa qunut Subuh adalah bid’ah, bid’ah ini dimaknai sebagai syar’an (makna syar’i), bukan lughatan.

Lalu, bagaimana dengan perkataan Abdullah bin Mughaffal yang melarang anaknya membaca Basmalah dalam shalat dan menyebutnya bid’ah..? Apakah ia dimaknai lughatan atau syar’an..? Apa standarnya?

Oleh karenannya, pembagian bid’ah, baik menjadi dua, dengan berbagai perbedaannya (mahmudah-madzmumah, hasanah-sayyi’ah, syar’an-lughatan) atau bahkan lima (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) merupakan bentuk ijtihad yang memiliki landasan masing-masing. Dan esensinya bukan pada pembagiannya itu sendiri, melainkan pada ketetapan hukum atas bermunculannya hal yang baru.

Sekali lagi, menyalahkan literatur pembagian bid’ah (dan pengakuan adanya bid’ah hasanah) atas bermunculannya bid’ah sayyi’ah sangatlah tidak tepat dan jauh dari sasaran.

Wallaahu a’lam.

Mohon koreksi kalau ada kekeliruan,
Laili Al-Fadhli
Semoga Allaah memaafkan dan mengampuninya

Sumber : https://alfadhli.wordpress.com/2018/03/21/bidah-hasanah/ (Posted on March 21, 2018 by Al Fadhli)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.