Bermazhab atau Mengamalkan Satu Mazhab?

Bermazhab atau Mengamalkan Satu Mazhab? - Kajian Medina
Bermazhab Atau Mengamalkan Satu Mazhab?
by : Isnan Ansory, Lc, MA

Ada sebagian umat Islam yang dengan keras menolak mazhab fiqih, namun tanpa disadari telah mengamalkannya setiap saat. Seperti kalangan azh-Zhahiriyyah yang menolak dalil qiyas, namun disadari atau tidak seringkali menggunakan qiyas sebagai landasan dalam menetapkan hukum.

Padahal mengamalkan mazhab merupakan perintah al-Qur’an, yang merupakan esensi dalam menjalankan perintah Allah swt untuk mengikuti para ulama sebagai ahli waris Nabi saw. Sebab mengikuti pendapat ulama, pada dasarnya bermazhab terhadap pendapat ulama tersebut.

Di sisi lain, muncul kesalah pahaman terkait istilah bermazhab. Di mana istilah ini, seringkali dipahami dengan makna mewajibkan diri atau orang lain untuk mengikuti satu mazhab tertentu. Meskipun tanpa disadari mereka yang menolak mazhab yang diakui dalam sejarah Islam, lebih mengidolakan dan mewajibkan orang lain untuk mengikuti “mazhab” tertentu pada hari ini, yang sama sekali belum teruji atau melalui proses seleksi alam, sebagaimana dilalui 4 mazhab fiqih yang ada.

Imam azd-Dzahabi (w. 748 H) seorang ulama besar sekaligus seorang sejarawan ternama, menjelaskan bagaimana kondisi sebagian mazhab-mazhab fiqih pada rentang abad 3 hingga 6 Hijriyyah (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, hlm. 8/92).

وَكَذَلِكَ اشْتُهِرَ مَذْهَبُ الأَوْزَاعِيِّ مُدَّةً، وَتَلاَشَى أَصْحَابُهُ، وَتَفَانَوْا. وَكَذَلِكَ مَذْهَبُ سُفْيَانَ وَغَيْرِهِ مِمَّنْ سَمَّيْنَا، وَلَمْ يَبْقَ اليَوْمَ إِلاَّ هَذِهِ المَذَاهِبُ الأَرْبَعَةُ ... وَانْقَطَعَ أَتْبَاعُ أَبِي ثَوْرٍ بَعْدَ الثَّلاَثِ مائَةٍ، وَأَصْحَابُ دَاوُدَ إِلاَّ القَلِيْلُ، وَبَقِيَ مَذْهَبُ ابْنِ جَرِيْرٍ إِلَى مَا بَعْدَ الأَرْبَعِ مائَةٍ.

“Demikian pula mazhab al-Awza’i sempat masyhur dalam masa tertentu, namun penganutnya sedikit demi sedikit berkurang hingga tiada terdengar lagi. Demikian pula mazhab Sufyan dan lainnya. Hingga tiada tersisa saat ini kecuali empat mazhab saja (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali)...Sementara mazhab Abu Tsaur juga hilang setelah abad ke 3 H, demikian pula penganut mazhab Dawud azh-Zhahiri kecuali sedikit yang tersisa. Adapun mazhab Ibnu Jarir, hanya bertahan beberapa masa setelah abad ke 4 H.”

Bermazhab Atau Mengamalkan Satu Mazhab?

Para ulama sepakat (kecuali kelompok sesat qadariyyah dan Mu’tazilah Baghdad) akan wajibnya masyarakat awam yang bukan mujtahid untuk taqlid kepada mazhab tertentu dalam masalah-masalah ijtihadiyyah (fiqih), dalam arti bermazhab dengan mazhab tersebut. Bahkan Ibnu Qudamah (w. 620 H) menghukuminya sebagai kewajiban (Ibnu Qudamah, Raudhah an-Nadzir, hlm. 383). Sebagaimana pendapat ini diamini pula oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in, (hlm. 4/187, 201), dan asy-Syaukani, dalam Irsyad al-Fuhul, (hlm. 266). Dua tokoh yang sering dirujuk oleh mereka yang menolak taqlid mazhab.

Bahkan imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menjelaskan bahwa kepentingan masyarakat awam (muqallid awam) pada dasarnya bukanlah bagaimana mereka harus tahu dan meneliti dalil al-Qur’an dan Sunnah atas amalan beragama mereka. Sebab pengetahuan tentang dalil adalah kewajiban ulama, sedangkan masyarakat awam cukup bagi mereka merujuk kepada ahlinya dalam menjalankan agama mereka. Beliau berkata dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din (hlm. 3/36).

وإنما حق العوام أن يؤمنوا ويسلموا ويشتغلوا بعبادتهم ومعايشهم ويتركوا العلم للعلماء فالعامي لو يزني ويسرق كان خيراً له من أن يتكلم في العلم فإنه من تكلم في الله وفي دينه من غير إتقان العلم وقع في الكفر من حيث لا يدري كمن يركب لجة البحر وهو لا يعرف السباحة

“Sesungguhnya kepentingan orang-orang awam adalah mereka cukup beriman, berislam, dan sibuk dengan ibadah dan maisyah/mencari nafkah mereka. Dan menyerahkan kesibukan menuntut ilmu kepada ulama. Seorang awam seandainya ia berzina atau mencuri, itu lebih baik baginya, dari pada ia berbicara tentang ilmu. Sebab jika ia berbicara tentang ilmu dan agamanya tanpa memiliki kecukupan dan kecakapan ilmu, ia dapat jatuh kepada kekufuran tanpa ia sadari. Seperti seorang yang berenang dalam arus ombak laut, padahal ia tidak mengetahui cara untuk berenang.”

Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah jika hukum bermazhab adalah boleh bahkan wajib bagi orang awam, maka apakah wajib mengamalkan satu mazhab atau boleh saja berpindah-pindah mazhab?. Pertanyaan inilah, yang umumnya dipahami banyak orang sebagaimana makna bermazhab. Padahal mengamalkan satu mazhab menurut mayoritas ulama tidaklah wajib, sedangkan hukum bermazhab bagi awam adalah wajib.

Hukum Mengamalkan Satu Mazhab

Para ulama umumnya sepakat bahwa jika seseorang berpindah mazhab secara totalitas, maka hal ini mutlak dibolehkan. Sebab, terhitung telah banyak ulama yang berpindah-pindah mazhab dalam sejarah.

Seperti berpindahnya imam Abu Ja’far ath-Thahawi dari mazhab Syafi’i ke mazhab Hanafi, imam Ibnu asy-Syahnah dari mazhab Hanafi ke mazhab Maliki, al-Qadhi Abu Ya’la dari Hanafi ke Hanbali, al-Khathib al-Baghdadi dari Hanbali ke Syafi’i, Saifuddin al-Amidi dari Hanbali ke Syafi’i, imam al-Munziri dari Hanbali ke Syafi’i, dan lainnya.

Sedangkan jika perpindahan itu bersifat parsial atau terkait beberapa masalah, seperti dalam masalah shalat dengan mengikuti mazhab Syafi’i dan dalam masalah puasa berpindah ke mazhab Hanafi, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

Kalangan minoritas ulama seperti Ilkiya al-Hirasi asy-Syafi’i (w. 504 H), Abu al-Ma’ali al-Juwaini (w. 478 H), dan as-Safaraini al-Hanbali (w. 1188 H) berpendapat bahwa wajib bagi seorang muqallid untuk konsisten pada satu mazhab tertentu dalam ia mengamalkan ajaran agamanya.

Sedangkan mayoritas ulama seperti Abu Ya’la al-Hanbali (w. 456 H), an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676), Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H), al-Kamal Ibnu al-Humam al-Hanafi (w. 861 H), Ibnu Abdin al-Hanafi (w. 1252 H) dan lainnya berpendapat bahwa hukumnya tidak wajib. Sebab perintah untuk bertanya kepada ulama dalam al-Qur’an bersifat umum dan tidak diharuskan untuk bertanya kepada ulama tertentu.

Itu sebabnya para shahabat Nabi saw tidak pernah mengingkari siapapun untuk bertanya kepada siapa saja yang mereka kehendaki dari para shahabat yang terkenal sebagai pemberi fatwa (Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, hlm. 2/252, Abu Ya’la, al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqih, hlm. 4/1226).

Disamping itu pendapat yang menyatakan harus komitmen dengan satu mazhab akan menyebabkan kesulitan dan kerepotan, padahal mazhab-mazhab yang ada adalah nikmat dan rahmat bagi umat (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hlm. 1/94).

Hanya saja, mereka juga sepakat bahwa jika perpindahan itu dilandaskan kepada hawa nafsu dalam rangka mengambil kemudahan-kemudahannya saja (tattabbu’ rukhash), maka hal ini tidak dibolehkan. Itu sebabnya mereka menetapkan syarat bolehnya berpindah mazhab agar terhindar dari efek negatif memperturutkan hawa nafsu. Syarat-syarat tersebut sebagaimana berikut (Syihabuddin al-Qarafi, Syarah Tanqih al-Fushul, hlm. 432):

Pertama: Tidak berakibat terjadinya percampuran antar pendapat mazhab yang bertentangan dengan ijma’ (talfiq mazmum). Seperti seorang yang menikah tanpa mahar, tanpa wali, dan saksi dengan menggabungkan mazhab Maliki dan Hanafi. Dalam praktek berpindah mazhab seperti ini, hukumnya adalah haram.

Kedua: Mayakini keutamaan mazhab yang ia berpindah kepadanya. Dengan demikian ia mengikutinya atas dasar ilmu dan bukan kebodohan dan ikut-ikutan semata.

Ketiga: Tidak dalam rangka tatabbu’ rukhash, yaitu berpindah-pindah mazhab dalam rangka mencari-cari kemudahan untuk memperturutkan hawa nafsu.

Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata dalam kitabnya Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, (hlm. 11/117):

وَالَّذِي يَقْتَضِيهِ الدَّلِيلُ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ التَّمَذْهُبُ بِمَذْهَبٍ، بَلْ يَسْتَفْتِي مَنْ شَاءَ، أَوْ مَنِ اتَّفَقَ، لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَلَقُّطٍ لِلرُّخَصِ.

“Berdasarkan dalil, sesungguhnya tidaklah wajib bermazhab dengan mazhab tertentu, namun boleh saja seseorang meminta fatwa kepada siapa saja yang dikehendaki. Namun dengan syarat bukan dalam rangka mencari-cari kemudahan.”

Sumber : https://www.rumahfiqih.com/z-112-bermazhab-atau-mengamalkan-satu-mazhab.html (Fri 2 December 2016 07:33)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.