KITAB FIKIH SAJA DARIPADA KITAB SYARAH HADITS DAN KITAB HADITS
Pada kajian rutin bersama Residen Bedah Mulut Universitas Airlangga Surabaya ini, pada mulanya yang ditawarkan kepada saya untuk dikaji adalah sebuah kitab Syarah Hadits. Namun karena keterbatasan kemampuan saya, secara pribadi saya lebih suka mengkaji kitab fikih, dari pada kitab syarah hadits, apalagi langsung kitab hadits.
Untuk kebutuhan memenuhi ilmu ibadah keseharian, mengambil ilmu fikih dari kitab syarah-syarah hadits belumlah ideal, karena hal itu ibarat makan buah sebelum masak. Apalagi langsung mengambil dari hadits dan tak mengindahkan fikih, seperti orang yang hanya perhatian pada pohon, tapi tak mau makan buahnya.
Al-Hafidz Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy mengutip dalam Tahdzib al-Kamal:
فَإِنْ لاَ تُطِقْ احْتِمَالَ هَذِهِ المَشَاقِّ كُلِّهَا فَعَلَيْكَ بِالفِقْهِ الَّذِي يُمْكِنُكَ تَعَلُّمُهُ وَأَنْتَ فِي بَيْتِكَ قَارّ سَاكِنٌ لاَ تَحْتَاجُ إِلَى بُعْدِ الأَسْفَارِ وَوَطْيِ الدِّيَارِ، وَرُكُوْبِ البِحَارِ، وَهُوَ مَعَ ذَا ثَمْرَةُ الحَدِيْثِ، وَلَيْسَ ثَوَابُ الفَقِيْهِ بِدُوْنِ ثَوَابِ المُحَدِّثِ فِي الآخِرَةِ، وَلاَ عِزُّه بِأقلّ مِنْ عِزِّ المُحَدِّثِ. تهذيب الكمال في أسماء الرجال 24/ 464
“Bila tak mampu menanggung semua aktifitas berat ini maka pelajarilah fikih yang memungkinkan kamu untuk mempelajarinya. Kamu diam di rumahmu, tak perlu jauh bepergian, meninggalkan negerimu, menyeberangi lautan. Sementara fikih sendiri sebenarnya adalah buahnya hadits itu. Pahala ahli fikih di akhirat tidak lebih sedikit dari pahala ahli hadits, dan tidak pula kemuliaannya lebih sedikit dari ahli hadits.” (Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, jilid 24, hal. 464)
Sekali lagi, ini karena ketidakmampuan kita untuk langsung merujuk hukum dari al-Qur’an dan hadits. Bahkan seorang ahli hadits pernah tak memahami aspek fikih dari hadits yang diriwayatkannya. Dia baru memahaminya setelah hadits itu sampai pada seorang ahli fikih, yang lalu “mengelolanya” dalam metode istinbath al-ahkam yang ada dalam madzhabnya.
Ibnu Hajar menceritakan:
وَكَانَ الْأَعْمَش يسْأَل أَبَا حنيفَة رَضِي الله عَنْهُمَا عَن الْمسَائِل فَيُجِيبهُ فَيَقُول من أَيْن لَك هَذَا فَيَقُول أَنْت حَدَّثتنَا عَن النَّخعِيّ بِكَذَا أَو عَن الشّعبِيّ بِكَذَا فَيَقُول الْأَعْمَش عِنْد ذَلِك يَا معشر الْفُقَهَاء نَحن الأطيار وَأَنْتُم الصَّيَّادُوْنَ لَهَا. الفتاوى الحديثية لابن حجر الهيتمي ص: 202
A’masy pernah bertanya kepada Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhuma tentang beberapa masalah. Setelah dijawab A’masy bertanya, “Kamu tahu dari mana?” Abu Hanifah menjawab, “Engkau pernah meriwayatkan hadits dari an-Nakha’i seperti ini, dari al-Sya’bi seperti ini.” A’masy saat itu langsung berkata, “Wahai para ulama pakar fikih, kami (pakar hadits) adalah burung-burung sedangkan kalian adalah para pemburunya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsah, hal. 202)
Faris Khoirul Anam
15 Oktober 2020 pada 17.09 ·