Kanibal

Kanibal - Kajian Medina
Kanibal
by Ahmad Sarwat, Lc.,MA

Wahyu berupa teks Al-Quran atau pun berupa hadits nabawi pada dasarnya merupakan kemauan dan kehendak Allah SWT, sehingga tidak perlu dilogikakan. Terserah Allah saja mau menurunkan syariat seperti apa.

Namun ketika masuk ke dalam tataran istimbath dari teks wayu menjadi produk hukum, maka diperlukan kaidah yang sifatnya konsisten dan baku.

Misalnya, kalau ada perintah dalam teks wahyu, maka pada dasarnya secara hukum menjadi wajib. Al-amru yaqtadhi al-wujub (الأمر يقتضي الوجوب). Dalam hal muamalat, semua transaksi dan akad itu hukum dasarnya boleh : Al-ashlu fil muamalati al-ibahah (الأصل في المعاملة الإباحة).

Kaidah macam ini sering disebut dengan istilah qawaid ushuliyah. Dari mana asal muasal kaidah ini? Apakah turun dari langit sebagai wahyu? Oh, tidak. kaidah ini ditetapkan oleh para mujtahid itu sendiri.

Kenapa dibutuhkan kaidah ushuliyah ini?

Biar para mujtahid ketika beristimbath tidak terbawa semata-mata selera mereka yang sifatnya subjektif, bukan sekear like and dislike. Biar tidak ngasal dan tidak terkesan angin-anginan. Memutuskan perkara tidak dengan cara improvisasi, tetapi menggunakan alur logika dan nalar yang benar.

Menarik kesimpulan hukum itu harus konsisten dengan kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan sebelumnya. Jangan sampai seorang mujtahid jadi plin-plan sendiri gara-gara tidak punya kaidah dalam melakukan istimbath hukum.

Disitulah kita jadi tahu kenapa kita tidak boleh mencampur aduk kesimpulan hukum atas suatu perkara yang sama dari beberapa muthajid yang berbeda. Sebab boleh jadi, logika hukum yang mereka gunakan memang sejak awal sudah berbeda.

Dalam menetapkan apa saja yang menjadi rukun nikah, logika dan kaidah yang digunakan oleh mazhab ternyata berbeda-beda. Sehingga di tataran kesimpulan, hasilnya juga berbeda. Kita sebagai tukang taklid yang tidak punya potongan mujtahid tidak boleh main campur dan mengaduk-ngaduk di tataran kesimpulan seenaknya. Rukun nikah versi kompilasi acak-adul :

[1] Tidak perlu ada wali (nyomot dari mazhab Hanafi)
[2] Tidak perlu ada saksi (nyolong dari mazhab Maliki)
[3] Tidak perlu mahar (nimpe dari mazhab Syafi'i)

Dalam dunia komputer hardware, itu namanya kanibal.


Kanibal - Kajian Medina
Kanibal 2.0
by Ahmad Sarwat, Lc.,MA

Pertanyaan yang selalu otomatis muncul setiap saya selesai menguraikan perbedaan 4 mazhab dalam menghukumi suatu masalah adalah : apakah kita harus konsisten dengan satu mazhab saja? Bolehkah kita dalam beragama main comot sana comot sini dan seperti bikin kompilasi sendiri dari berbagai printilan masing-masing mazhab?

Saya tidak menjawab boleh atau tidak boleh, tapi saya balik bertanya kenapa sampai muncul ide untuk mencampur-campur seperti itu?

Jawabnya karena kita tidak pernah belajar fiqih secara benar dalam arti melewati proses dari A sampai Z. Kita mengenal fiqih hanya lewat proses denger-denger, sambil lalu, tidak secara serius menekuni ilmu fiqih secara terstruktur.

Ibarat orang masuk mal, hanya CLBK saja. Cuma lihat beli kagak. Makanya jadi bingung, pakai yang mana ya?

Sedangkan mereka yang mendapat kesempatan belajar fiqih secara terstruktur sejak kecil, bisa dipastikan tidak mengalami kebingungan seperti itu. Sebab semua masalah fiqih itu sudah finish dan tuntas dalam pelajarannya, meski hanya dalam satu mazhab saja.

Jadi ketika membahas fiqih perbandingan mazhab yang terkesan berbeda-beda itu, santai saja. Tidak ada kebingungan apalagi niat mau mencampur-aduk dan kanibalisasi detail-detail mazhab.

Syafi'i vs Hanafi : Najis

Mereka yang sejak kecil sudah menekuni pelajaran fiqih mazhab Syafi'i, tidak akan mau shalat dalam keadaan celana terkena ciptaran air kencing. Apalagi kencing tidak cebok, bisa masuk neraka. Padahal dalam mazhab Hanafi, selama air kencing yang membasahi pakaian belum selebar telapak tangan, apalagi cuma tetesan-tetesan saja, hukumnya masih dimaf'u atau dibolehkan untuk dipakai shalat.

Syafi'i vs Hanafi : Aurat Wanita

Ibu-ibu di negeri kita juga tidak mau shalat dengan telanjang kaki. Minimal kalau tidak pakai mukena, dia pakai kaus kaki biar telapak kakinya tertutup rapat karena merupakan bagian dari aurat. Padahal dalam mazhab Hanafi, dari batas mata kaki ke bawah boleh terlihat meski dalam shalat, karena dianggap bukan aurat wanita.

Syafi'i vs Maliki : Anjing Babi

Kita yang sejak kecil mengaji fiqih syafi'i pasti akan berupaya menjauhkan diri dari anjing dan babi. Sebab tubuh kedua hewan itu merupakan najis mughallazhah. Mensucikannya harus 7 kali salah satunya pakai tanah. Padahal dalam pandangan mazhab Maliki, tubuh anjing dan babi bukan benda najis. Yang najis hanya air liur anjing, sementara tubuhnya termasuk keringatnya bukan najis.

Syafi'i vs Hambali : Kotoran Hewan

Mereka juga tidak akan mau shalat di karpet yang ada kotoran ayamnya. Sebab sejak awal sudah diajari bahwa kotoran ayam itu najis. Padahal dalam mazhab Hambali, kotoran ayam dan kotoran hewan yang dagingnya halal dimakan bukan benda najis.

Tapi mereka yang tidak pernah belajar fiqih secara terstruktur dan baku, biasanya muslim perkotaan, pastinya tidak paham soal beginian. Sebab di dalam kepalanya tidak ada ilmu fiqih, lantaran memang tidak belajar. Belajar agama sih, tapi paling anti dengan materi fiqih. Tiba-tiba ketemu materi fiqih perbandingan mazhab, jadinya malah rada norak.

Ibarat orang tidak pernah belajar IQRO, tajwid dan tahsis, tiba-tiba mau baca Quran pakai qiraat sab'ah. Riwayat Hafsh dari Ashim saja tidak beres, lha kok belagak mau baca pakai riwayat Qalun, Wars, Kisa'i dan lainnya. Yang terjadi bukannya qiroah sab'ah, tapi malah bikin qiroah sendiri senak udelnya saja.

Ahmad Sarwat
21 Januari pukul 04.54 ·
21 Januari pukul 06.25 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.